Laman

Senin, 27 April 2015

Korupsi Menurut Saya

Korupsi menurut saya adalah suatu kejahatan untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain (termasuk korporasi) yang dilakukan secara melawan hukum akibat rasa ketidakpuasaan (tamak) yang dapat merusak sendi-sendi moral sipelaku dan menghancurkan semangat pembangunan bangsa yang adil yang dapat menyesengsarakan rakyat. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa begitu kejamnya tindak pidana korupsi tersebut dan begitu “gila” koruptor yang melakukannya.
Banyak yang berpendapat tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini. Satu sisi berpendapat bahwa untuk memberantas korupsi harus membenahi sistemnya sedemikian rupa, karena dengan sistem yang baik orang yang jahat pun tidak dapat melakukan korupsi. Di sisi lain berpendapat bahwa pribadi orangnya harus dibenahi, karena sejelek apapun sistemnya, jika pribadi orang yang mempunyai kewenangan baik, maka tidak aka nada tindak pidana korupsi. Kedua pendapat tersebut terbantahkan dengan kenyataan bahwa tidak ada sistem yang sempurna yang dibuat oleh manusia dan untuk mencari manusia yang baik memang mudah, tapi untuk mencari yang baik dan mempunyai kemampuan akan suatu bidang yang diperlukan bukanlah hal mudah, sering sekali untuk mengisi jabatan tertentu faktor moral tidak diperhatikan tetapi hanya faktor kemampuan akan suatu bidang yang diinginkan.
Untuk permasalahan di atas saya lebis sepakat dengan pendapat seorang pembaharu China (Tiongkok) yang bernama Wang An Shih (1021 – 1087). Beliau mengatakan “Tidaklah mungkin menyelamatkan pemerintahan yang layak dengan Cuma bertopang pada kekutan hukum (sistem) untuk mengendalikan para pejabat (manusia), sementara mereka sendiri bukan orang yang tepat untuk pekerjaannya”. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk memberantas korupsi dibutuhkan 2 (dua) hal, yaitu :
1.      Sistem (Hukum) yang baik
Sistem yang baik adalah sistem yang dirancang sedemikian rupa untuk menghindari celah – celah untuk melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, sistem yang baik ini juga harus dilengkapi dengan ancaman – ancaman hukum bagi yang melanggarnya, karena diketahui bahwa sebaik apapun sistem yang dibuat oleh manusia tetap mempunyai celah untuk dilanggar. Oleh karena itu, sanksi yang diberikan harus setidak – setidaknya jauh lebih merugikan daripada apa yang didapatkan akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan, karena apabila sanksi yang didapatkan lebih menguntungkan daripada ia melakukan korupsi, maka secara psikologi dan ekonomi akan lebih banyak yang akan melakukannya dan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku (pencegahan) tidak tercapai.
2.      Manusia yang baik ditempatkan pada posisi yang tepat
Dari pendangan ini terlihat bahwa tidak cukup mengandalkan manusia yang baik untuk mengisi jabatan tertentu untuk dalam penyelenggaraan negara, namun juga dibutuhkan keahlian pada manusia baik tersebut. Oleh karena itu, untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, pada bagian ini dibutuhkan manusia yang mempunyai moral dan etika yang baik, serta memiliki kemampuan bidang tertentu sesuai dengan jabatan yang akan diduduki oleh manusia baik tersebut. Sehingga tidak cukup hanya mempunyai intelektual yang memumpuni, tetapi juga mempunyai moral dan etika yang berlandasakan anti kurupsi.

Peran mahasiswa dalam pemberantasan korupsi adalah berkontribusi agar kedua hal di atas dapat terpenuhi. Misalnya dalam penyusunan sistem yang baik, mahasiswa harus tetap dapat mengawasi penyusunan atau pembentukan sistem (hukum) yang baik, yaitu dengan cara menganalisis dengan cermat sistem (hukum) tersebut apakah baik untuk rakyat atau tidak, apakah dapat dijalankan dengan baik atau tidak, dsb. Apabila ada yang kurang tepat yang melanggar semangat anti korupsi, dapat menyurakan dengan berbagai cara yang bermoral dan dapat juga menyumbangkan ide untuk para penyusun sistem tersebut.

Peran mahasiswa pada bagian yang kedua (manusia yang baik pada posisi yang tepat) adalah peran yang sangat tepat bagi mahasiswa untuk berkontribusi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, peran ini akan tercapai setelah para agent of change ini mempunyai posisi yang tepat pada dunia kerja. Oleh karena itu, pada saat mahasiswa (masih kuliah) harus sebaik mungkin membentuk dirinya dengan semangat anti korupsi, yaitu bermoral dan beretika baik. Hal ini juga harus dibarengi dengan semangat belajar sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajari untuk mempunyai kemampuan yang dibutuhkan di dunia kerja. Berdasarkan hal tersebut, maka mahasiswa saat ini nantinya adalah manusia yang baik pada posisi yang tepat sebagai agent anti korupsi, serta “budaya” korupsi akan berubah seiring berjalannya waktu dengan “Budaya Anti-Korupsi”.

Jumat, 10 Oktober 2014

KEDUDUKAN HUKUM PENGURUS DALAM KOPERASI, KEKUASAAN DAN TANGGUNG JAWAB




1.      Pentingnya Pengurus Bagi Perkembangan Koperasi dan Keberhasilannya
Pengurus yang kompeten sangat penting bagi keberhasilan dan kemajuan koperasi. Oleh karena itu, sebelum mendaftarkan koperasi yang telah dibentuk harus telah menentukan para pengurus koperasi tersebut. Karena begitu sangat esensil dalam sebuah koperasi, kewajiban dan tanggung jawab pengurus seharusnya diatur dalam undang – undang.  Namun, sebagian negara masih mengatur hal tersebut dalam peraturan pelaksana UU Koperasi atau diberi kekuasaan kepada koperasi untuk mengatur sendiri dalam anggaran dasarnya.
2.      Difinisi Istilah – Istilah
Pengurus adalah badan eksekutif yang bertugas di bidang pengolaan, sedangkan para anggota dalam Rapat Umum adalah pembuat kebijakan dengan kekuasaan untuk memeutuskan segala hal yang berkenaan dengan koperasi dan urusan-urusannya, serta memberikan petunjuk-petunjuk kepada Pengurus mengenai soal pengelolaan sehari-hari. Dalam koperasi tradisional, pengurus adalah para anggota koperasi. Sedangkan dalam koperasi modern, pengurusnya dalam menjalankan koperasi sebagian adalah non anggota yang menerima upah.
3.      Status Hukum Pejabat dan Pengurus atau Dewan Pengurus
Status hukum ini ditentukan oleh sistem hukum yang dianut oleh suatu negara. Dalam Sistem Common Law, kedudukan hukum Pengurus Koperasi adalah sebagai seorang wakil yang bertindak atas nama prinsipal badan hukum yaitu koperasi yang memiliki batas wewenang. Jika common law menentukan pengurus sebagai wakil, berbeda dalam Sistem Eropa Kontinental yang menentukan para pengurus koperasi yang melakukan tindakan sebagai tugas jabatannya adalah tindakan badan hukum yaitu tindakan koperasi itu sendiri.
4.      Pemilihan dan Pemberhentian Pejabat
Pemilihan dan pemberhentian penjabat koperasi ditentukan dengan suara mayoritas para anggota yang memberikan suara dalam Rapat Umum sebagai kekuasaan tertinggi dalam koperasi.
5.      Masa Jabatan
Masa jabatan anggota Pengurus atau Dewan Pengurus biasanya masa jabatannya adalah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali. Sedangkan untuk pejabat koperasi (ketua, sekretaris, dan bendahara) masa jabatannya adalah 1 (satu) tahun.
6.      Tugas dan Wewenang Pengurus dan Dewan Pengurus
Tugas Pengurus dan Dewan Pengurus adalah sebagai berikut :
-          Mematuhi anggaran dasar dan resolusi Rapat Umum.
-          Melaksanakan kebijaksanaan dan kehati-hatian sebagaimana biasanya pengusaha dalam melakukan urusan koperasi, dan dilakukan bersama – sama, dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang ditimbulkan melalui salah satu tindakan mereka yang bertentangan dengan undang – undang, peraturan, anggaran dasar, dan resolusi setiap Rapat Umum.
-          Setia kepada koperasi.
-          Memberikan informasi mengenai masalah koperasi kepada anggota, Dewan Pengawas, Pejabat Pendaftar, dan Koperasi Induk terhadap mana koperasi itu bernaung/berafiliasi.
Kekuasaan atau kewenangan Pengurus dan Dewan Pengurus adalah sebagai berikut :
-          Mewakili koperasi dalam hubungan dengan dan mengadakan transaksi dengan penguasa negara dan pihak ketiga.
-          Bertindak dan atas nama koperasi yang mengikat koperasi yang sah.
-          Mengambil keputusan kebijaksanaan sesuai dengan anggaran dasar dan resolusi Rapat Umum.
-          Mendelegasikan pengolaan sehari –hari.
7.      Tanggung Jawab Pejabat Koperasi
Tindakan – tindakan Pejabat koperasi yang ultra vires, intra vires, perbuatan melawan hukum, dan tindak pidana adalah tanggung jawab Pejabat tersebut secara pribadi. Untuk perbuatan melawan hukum dan tindak pidana, apabila hal tersebut dilihat ada terkaitannya dengan koperasi maka koperasi juga bertanggung jawab.
8.      Pelanggaran Pidana Khusus Oleh Pengurus atau Dewan Pengurus dalam UU
Pengaturan pidana dalam UU dibutuhkan untuk menjamin bahwa para pejabat koperasi tidak menyalahgunakan kedudukannya yang secara relatif kuat dan tidak terkontrol.

STATUS HUKUM ANGGOTA KOPERASI



STATUS HUKUM ANGGOTA KOPERASI
Koperasi sebagai badan usaha yang dibiayai dan dikelola oleh para anggotanya sehingga perlu adanya pengaturan untuk status para anggota tersebut. Kontribusi anggota dalam menjalankan koperasi dan pemanfaatan badan usaha koperasi dalam kedudukannya sebagai nasabah adalah hal yang paling diutamakan selain kontribusi modal anggota. Peranan rangkap anggota sebagai pemilik dan nasabah seperti itu disebut asas identitas. Asas identitas dalam koperasi yang disponsori pemerintah hanya bersifat fiksi, sehingga koperasi tidak dapat berkembang dalam waktu yang lama. Hal ini dikarenakan para anggota tidak didasari oleh kepentingan ekonomis mereka sendiri supaya ikut serta secara aktif dalam pekerjaan koperasi
Keanggotaan terbuka memungkinkan semua orang yang mempunyai kepentingan dan kepentingan bersama dapat menjadi anggota sebuah badan usaha koperasi. Namun, untuk dapat diterimanya seseorang menjadi anggota disebuah koperasi harus melalui persetujuan para anggota yang ada pada koperasi tersebut. Pembatasan yang tedapat dalam koperasi untuk pengaturan penerimaan anggota adalah berdasarkan kepentingan bersama para anggota yang telah ada dan kreteria obyektif.
Keanggotaan sukarela yang membebaskan untuk menjadi anggota apabila koperasi tersebut sesuai dengan kepentingan ekonomisnya secara individual dan kebebasan untuk mengundurkan diri apabila kepentingan koperasi telah bertentangan dengan kepentingan individual anggota. Dengan demikan setiap anggota dapat mengundurkan diri dan koperasi juga dapat mengeluarkan anggota untuk memulihkan homogenitas koperasi tersebut apabila merasa terganggu.
Anggota dalam menjalankan koperasi tentunya menimbulkan hak dan kewajiban untuk para anggota tersebut. Hak dan kewajiban keanggotaan diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu :
1.    Hak dan Kewajiban Pribadi (Personal)
Adalah hak dan kewajiban dalam kehidupan dan kegiatan koperasi yang sama bagi semua anggota dan tidak dapat dihilangkan dari seorang anggota selama keanggotaannya.
a.      Hak – hak perorangan
-          Hak untuk menghadiri rapat dan mengajukan usul
-          Hak untuk memberi suara
-          Hak untuk memilih pengurus dan untuk dipilih
-          Hak untuk memanfaatkan fasilitas koperasi
-          Hak untuk diberi tahu mengenai sesuatu hal yang berkenaan dengan koperasi
-          Hak untuk melindungi kelompok minoritas
-          Hak untuk mengundurkan diri dari perhimpunan
b.      Kewajiban Perorangan
-          Kewajiban ikut serta secara perorangan dalam usaha bersama supaya tercapai tujuan bersama.
-          Kewajiban untuk setia kepada koperasi.

2.    Hak dan Kewajiban Keuangan (Financial)
Adalah hak dan kewajiban yang berhubungan dengan keikutsertaan keuangan para anggota dalam harta kekayaan dan dana koperasi.
a.      Hak Keuangan
-          Hak untuk menggunakan dan menarik keuntungan keuangan dari fasilitas badan usaha koperasi.
-          Hak untuk menerima kembali uang keanggotaan, keuntungan, bonus dan bunga atas modal yang disetor.
-          Hak untuk menuntut pembayaran kembali kontribusi modal dari dana koperasi karena pengunduran diri dari keanggotaan atau koperasi yang dilikuidasi, setelah koperasi itu dibubarkan atau berakhir.
b.      Kewajiban Keuangan
-          Kewajiban untuk membayar kontribusi keuangan yang ditentukan dalam anggaran dasar.
-          Kewajiban bertanggung jawab atas hutang koperasi.
-          Kewajiban untuk memanfaatkan fasilitas badan usaha koperasi.

KRONOLOGI DAN SEJARAH REGULASI TENTANG KOPERASI DI INDONESIA




Peraturan pertama tentang koperasi di Indonesia adalah Verordening op de Coopertieve Verenigingen Stb. 431 Tahun 1915, tanggal 7 April 1915. Peraturan ini dinilai diberlakukan dengan tidak mempelajari dan mempertimbangkan situasi dan kondisi asli rakyat pribumi Indonesia, karena hanya memberlakukan (asas korkodansi) peraturan tentang koperasi yang berlaku di Belanda saat itu, yaitu Regeling der Cooperative Verenigingen Stb. 227 Tahun 1876, tanggal 17 November 1867.
Peraturan tersebut dianggap oleh para penggerak nasional dan penggerak koperasi saat itu mempunyai syarat – syarat yang sangat berat untuk dipenuhi oleh para pribumi, dan dianggap sebagai peraturan yang dibuat untuk menghambat pertumbuhan koperasi di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut pada tanggal 10 Juni 1920 dibentuk Cooperatieve Commissie berdasarkan gouvernements-besluit No. 1, yang mempunyai tugas untuk menyelidiki apakah koperasi bermanfaat bagi rakyat Indonesia dan dengan cara bagaimana semangat koperasi dapat dikobarkan. Komisi ini diketuai oleh J.H. Boeke dan beberapa anggotanya berasal dari wakil Pemuda Pejuang Indonesia.
Setelah menerima laporan dari komisi tersebut, enam tahun kemudian dibentuk peraturan koperasi khusus untuk rakyat Indonesia (pribumi) yaitu  Regeling Inlanndsche Cooperatieve Vereningengen Stb. No. 91 Tahun 1927. Dengan demikian pada saat itu berlaku 2 (dua) peraturan tentang koperasi yaitu Verordening op de Coopertieve Verenigingen untuk orang Eropa dan Timur Asing yang tunduk pada KUHPerdata dan KUH Dagang, sedangkan untuk orang pribumi berlaku Regeling Inlanndsche Cooperatieve Vereningengen yang tunduk pada hukum adat. Namun, pada saat itu koperasi yang didirikan oleh rakyat Indonesia sulit untuk berkembang karena sistem ekonomi waktu itu sangat liberal.
Pada tanggal 1 Maret 1933, Verordening op de Coopertieve Verenigingen diganti dengan Algemene Regeling op de Cooperatieve Vereningingen Stb. 108 Tahun 1933. Hal ini dirubah untuk menyesuaikan perubahan pada peraturan di Belanda yg merupakan peraturan yang menjadi patokan awal yaitu Regeling der Cooperative Verenigingen Stb. 227 Tahun 1876 menjadi Regeling der Cooperative Verenigingen Stb. 204 Tahun 1925, pada tanggal 28 Mei 1925. Namun, untuk rakyat Indonesia (pribumi) tetap menggunakan Regeling Inlanndsche Cooperatieve Vereningengen Stb. No. 91 Tahun 1927 tidak ada perubahan.
Setelah kemerdekaan diterbitkan peraturan koperasi untuk orang Indonesia yang baru yaitu Regeling Cooperatieve Vereningingen Stb. 179 Tahun 1949, tanggal 7 Juli 1949. Peraturan ini tidak mencabut Algemene Regeling op de Cooperatieve Vereningingen. Pada tahun 1953 dilakukan usaha-usaha untuk menyusun suatu peraturan perundang-undangan koperasi yang baru untuk menggantikan Regeling Cooperatieve Vereningingen Stb. 179 Tahun 1949, yang pada saat itu Indonesia sedang menerapkan Konstitusi RIS. Pada September 1956, Indonesia menjalin hubungan dengan Internasional Cooperative Alliance (ICA). Dengan hal itu, usaha-usaha untuk membuat UU perkoperasian yang baru terus dilakukan secara intensif. Pada tanggal 1 Januari 1957 Menteri Kehakiman membekukan Algemene Regeling op de Cooperatieve Vereningingen. Dengan demikian pada saat itu yang berlaku hanya satu pertauran saja yaitu Regeling Cooperatieve Vereningingen Stb. 179 Tahun 1949.
Pada tanggal 27 Oktober 1958, Pemerintah menerbitkan UU Koperasi Nasional pertama, yaitu UU No. 79 Tahun 1958 Tentang Perkumpulan Koperasi yang dibuat berdasarkan Pasal 38 UUD sementara 1950 yang isinya sama dengan Pasal 33 UUD 1945. Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, maka sebagai suatu peraturan peralihan Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1959 Tentang Perkembangan Gerakan Koperasi. Namun dasar hukum perkumpulan koperasi tetap UU No. 79 Tahun 1958. Pada masa itu juga diterbitkan 2 (dua) Instruksi Presiden sebagai peraturan pelaksana dari PP tersebut, yaitu Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1960 tentang Pementukan Badan Penggerak Koperasi (Bapengkop) dan Intruksi Presiden No. 3 Tahun 1960 tentang Pendidikan Koperasi.
Pada tanggal 2 Agustus 1965, Presiden Soekarno mengesahkan UU No. 14 Tahun 1965 tentang Pokok – Pokok Perkoperasian, bersamaan dengan diadakannya Musyawarah Nasional Koperasi Kedua di Jakarta. Di dalam UU tersebut diterapkan prinsip Nasionalisme Agamis dan Komunis (Nasakom). UU ini dianggap bertentangan dengan asas – asas pokok koperasi. Pada saat itu juga dalam Munaskop ke-II, KOKSI menyatakan keluar dari keanggotaannya di ICA.
Setelah PKI dibubarkan maka UU No. 14 Tahun 1965 dilakukan peninjauan kembali oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi. Pada tahun 1966 MPRS membekukan UU tersebut, dan pada tanggal 18 Desember 1967 diberlakukan UU No. 12 Tahun 1967 tentang Pokok – Pokok Perkoperasian yang menggantikan UU lama. UU ini dinilai sukses mengembalikan asas-asas koperasi sebenarnya sebagaimana seperti yang terdapat dalam prinsip – prinsip koperasi Rochdale. Dengan berlakuknya UU ini juga memulihkan kembali hubungan dengan ICA. Namun, walaupun sudah 25 tahun berlaku, UU No. 12 Tahun 1967 dianggap tidak dapat mengikuti zaman yang berkembang sedemikian pesat. Untuk menghadapi tentangan tersebut pemerintah menerbitkan UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.