Indonesia merupakan salah satu
negara dari sekian banyak negara yang masih konsisten memberlakukan pidana mati
dalam hukum nasionalnya. Di dalam pelaksanaannya banyak pihak yang pro tentang
adanya pidana mati dan ada juga yang kontra. Pro dan Kontra ini berlanjut
mengenai masalah tata cara pelaksanaan eksekusi terpidana mati. Tembak mati
menjadi salah satu upaya yang dipilih untuk mengeksekusi terpidana berdasarkan
UU No. 2/Pnps/1964 yang selanjutnya ditetapkan sebagai undang-undang melalui UU
Nomor 5 Tahun 1969. Pendapat lain mengatakan tata cara pelaksanaan pidana mati
dengan cara ‘ditembak sampai mati’ sangat melanggar hak asasi manusia seperti
diatur dalam UUD 1945.
Selain itu produk hukum UU No.
2/Pnps/1964 dianggap sangat tidak konstitusional mengingat proses
pembentukannya yang tidak berdasarkan UUD 1945. Dengan adanya putusan Mahkamah
Kontitusi Nomor. 21/PUU-VI/2008 maka Indonesia mempunyai pandangan yang tegas
dan mendasar tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang tidak melanggar hak
konstitusional.
Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.
21/PUUVI/2008 tentang Penolakan permohonan Pengujian Undang-Undang
Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati semakin
mengukuhkan satu-satunya cara pelaksanaan eksekusi terpidana mati dengan cara
ditembak sampai mati. Di sisi lain melalui putusan ini menunjukkan Negara
Indonesia masih tetap memandang penting adanya sanksi pidana mati bagi
terpidana kasus kejahatan berat (terorisme, narkotika, dll.). Hal yang sangat
menarik untuk dikaji adalah latar belakang Putusan Mahkamah Konstitusi ini.
berawal dari adanya permohonan Pengujian Undang-undang baik secara materil
maupun formil dari Undang-undang No.2/Pnps/Tahun 1964 terhadap UUD 1945.
Uniknya para pemohon ini adalah ketiga terpidana mati kasus Bom Bali, Amrozi
Bin Nurhasyim, Ali Gufron Bin Nurhasyim alias Mukhlas dan Abdul Azis alias Imam
Samudera yang sebelumnya pernah menyatakan diri tidak takut untuk dieksekusi
mati. Melalui kuasa hukumnya, Tim Pengacara Muslim mereka sangat keberatan
dengan tata cara pelaksanaan pidana mati yang berlaku di Indonesia. Mereka
menilai ada banyak hal yang
sangat bertentangan dengan UUD 1945 sehingga melanggar hak konstitusi mereka
sebagai warga Negara Indonesia. Pemohon mengajukan permohonan pengujian Undang-undang No.
2/Pnps/tahun 1964 baik secara materiil maupun formil. Secara materiil, Pemohon
sangat keberatan dengan tata cara pelaksanaan pidana mati melalui cara ditembak
sampai mati karena menurutnya tindakan itu sangat menyiksa terpidana. Pemohon
yang masih memiliki hak konstitusional selaku warga Negara Indonesia merasa
tidak dilindungi haknya dengan tata cara ditembak sampai mati. Meskipun pemohon
berstatus sebagai terpidana mati bukan berarti sebagai warga negara telah
kehilangan hak konstitusionalnya.
Tata cara pelaksanaan pidana mati melalui ditembak sampai
mati dengan sasaran jantung terpidana justru menjadi suatu cara yang paling
efektif dan manusiawi untuk mencabut nyawa. Kecil kemungkinan seorang terpidana
yang ditembak mati mengenai jantungnya masih hidup. Oleh karena itu tata cara
ini dapat dinilai tidak melanggar Pasal 28I UUD 1945“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hak nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun”. Karena terpidana tidak tersiksa dahulu baru mati. Pada
kondisi khusus, dimana tembakan ternyata meleset atau dengan satu tembakan yang
mengenai jantung ternyata terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan maka
UU No. 2/Pnps/1964 telah memberikan pengaturan. Setelah mengetahui terpidana
masih hidup, tidak berarti diadakan tembakan tahap kedua atau dilakukan
penembakan secara beramai-ramai.
UU No. 2/Pnps/1964 lebih memilih
cara ditembak sampai mati dengan regu tembak. Pasal 1 dan 14 UU No. 2/Pnps/1964
menyatakan:
Pasal 1:
“Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana
yang ada
tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang
dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer,
dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam
pasal-pasal berikut”.
Pasal 14:
(1) Apabila semua
persiapan telah selesai, maka Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut
dalam Pasal 4 memerintahkan untuk memulai
pelaksanaan pidana mati.
(2) Dengan segera para
pengiring terpidana menjauhkan diri dariterpidana.
(3) Dengan menggunakan
pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya
bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan
regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya
ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
(4) Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih
memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka Komandan Regu segera
memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir
dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas
telinganya.
(5) Untuk memperoleh
kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter.
Menurut UU No. 2/Pnps/1964 tata
cara pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan prosedur yang tegas:
1. Jaksa Tinggi/jaksa yang bertugas memimpin pelaksanaan pidana
mati;
2. Pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana;
3. Komandan
Regu Tembak memberi tanda persiapan pada Regunya dengan membidik jantung
terpidana sebagai sasaran;
4. Dengan
tanda ayunan pedang secara cepat, komandan memerintahkan regu untuk menembak.
cara pelaksanaan pidana mati oleh
beberapa negara dan kemungkinan pelanggaran hak asasinya :
Jenis
Hukuman
|
Cara
pelaksanaan
|
Proses
kematian
|
Indikasi pelanggaran
HAM
|
Negara
yang memberlakukan
|
Hukuman gantung
|
Pada leher terpidana diikatkan
seutas tali setelah itu papan injak kaki terdakwa ditarik atau dilepas
|
5 menit
|
Terpidana tersiksa selama 5
menit
|
Irak, Iran, India, Jepang,
Malaysia, Singapura
|
Hukuman penggal di leher
|
1. Algojo mengayunkan
pedang ke leher
korban;
2. Algojo meletakkan kepala korban
ke alat pengal lalu menjatuhkannya
|
Langsung mati
|
Terpidana langsug mati namun
tindakan tergolong sadis
|
Arab Saudi, Qatar, Yaman
|
Ditembak pada sasaran mematikan
|
Petugas/ regu tembak
mengarahkan tembakan pada jantung, pelipis atau kepala bagian belakang
terpidana
|
Jantung: 7-11 detik
Pembuluh darah besar: 7-15
menit
Kepala/ otak: mati
seketika
|
Sasaran bisa tidak tepat tetapi
dalam proses mati bukan penyiksaan
|
Libya, Palestina, Yaman, China,
Indonesia
|
Di strum listrik
|
Terpidana didudukan pada alat
pengalir listrik, diikat dan di aliri listrik
|
Tergantung ketahanan tubuh
|
Penyiksaan
|
Amerika
|
Di masukkan dalam Ruang Gas
|
Terpidana di masukkan dalam
Ruang Gas beracun hingga mati
|
Tergantung ketahanan tubuh
|
Penyiksaan
|
Mexico, Negara Bagian Colorado,
North Carolina
|
Di suntik mati
|
Terpidana di suntik zat
tertentu yang menyebabkan berhentinya sistem kehidupan tubuh
|
30 detik
|
Terpidana tidak merasa sakit
|
Guatemala, Philpina, Thailand
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar