Laman

Jumat, 10 Oktober 2014

KAUSALITAS DAN MELAWAN HUKUM



                                                              I.            AJARAN SEBAB-AKIBAT (KAUSALITAS/CAUSALITEITSLEER)

Setiap peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa sosial yang lain, demikian seterusnya; yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu linggaran sebab akibat. Hal ini disebut hubungan kausal yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas[1]. P.A.F Lamintang mendifinisakan causaliteitsleer atau ajaran mengenai sebab akibat adalah ajaran yang mempersalahkan hingga berapa jauh suatu tindakan dapat dipandang sebagai penyebab dari suatu keadaan atau hingga berapa jauh suatu keadaan itu dapat dipandang sebagai suatu akibat suatu tindakan, dan sampai dimana seseorang yang telah melakukan tindakan tersebut dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana[2].
Ajaran kausalitas diperlukan pada jenis delik tertentu, yaitu :
      Delik Materiil[3] : Delik yang dalam perumusannya mementingkan unsur akibat , mis. Ps. 338, Ps 359, Ps 360
      Delik yang terkualifikasi/dikwalifisir[4] : tindak pidana yang karena situasi dan kondisi khusus yang berkaitan dengan pelaksanaan tindakan yang bersangkutan atau karena akibat-akibat khusus yang dimunculkannya, diancam dengan sanksi pidana yang lebih berat ketimbang sanksi yang diancamkan pada delik pokok tersebut. mis. Ps 351 (1) à Ps 351 (2)/ à Ps 351 (3)
      Delik Omisi tak murni/semu[5] (delicta commissiva per omissionem/ Oneigenlijke Omissiedelicten): Pelaku melanggar larangan (timbulnya akibat) dengan pasif (tidak berbuat), Pasal. 194
Dalam ajaran kausalitas dikenal beberapa teori yang dikemukan oleh beberapa ahli hukum dalam menentukan sejauh mana suatu tindakan menjadi suatu sebab atas tejadinya akibat yang dapat dipidana, antara lain :
1.      Teori Conditio sine quanon oleh Von Buri
Teori Conditio sine quanon yaitu semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian factor-faktor yang bersangkutan harus dianggap sebab (causa) akibat itu[6].
Von Buri dalam teori ini juga menyatakan bahwa tiap faktor dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor – faktor yaitu faktor yang tidak perlu/berhubungan dengan akibat yang bersangkutan dan tidak diberi nilai. Begitu juga sebaliknya, tiap faktor tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor – faktor yaitu faktor yang perlu/berhubungan dengan akibat yang bersangkutan dan diberi nilai sama atau sederajat, hal ini yang menyebabkan teori ini dikenal juga dengan teori ekivelensi (aequoivalentie-leer)[7]. Van Hattum, Simons dan Jonkers berpendapat bahwa teori ini sama sekali tidak dapat dipakai. Von Buri sendiri pernah mengakui bahwa teorinya tidak dapat dipakai dalam hukum pidana.[8]
2.      Teori Restriksi (Pembatasan) oleh Van Hamel
Van Hamel berpendapat bahwa teori Von Buri pada prinsipnya dapat diterima, namun harus diimbangi dengan restriksi (pembatasan). Pembatasan yang dimaksud oleh Van Hamel dengan melihat unsur kesalahan dan kealpaan (opzet en schuldleer)[9].
3.      Teori yang mengindividualiskan (Individualiserende Theorien)
Salah satu yang mengemukan teori ini adalah Birkmeyer. Teori Birkmeyer juga didasari oleh teori Von Buri. Namun, teori ini mengambil satu causa yang dianggap paling berpengaruh atas terjadinya akibat yang bersangkutan[10]. Teori ini juga banyak menuai kritikan yang pada intinya adalah bagaimana menentukan faktor yang paling berpengaruh atas terjadinya akibat dari rangkaian faktor – faktor yang ada. Karena dalam penentuan itu bersifat subyektif (setiap orang punya penilaian sendiri). Selain Birkmeyer, ahli hukum lain juga mempunyai yang pendapat tentang teori ini antara lain Binding (teori Uebergwicht) dan Ortmann (teori “letze bedingung”).
4.      Teori yang menggeneralisasi (Generaliserende Theorien)
Dalam teori ini, causa yang diambil adalah faktor yang menurut pengalaman atau yang pada umumnya menjadi causa. Utrecht melihat ada 2 (dua) teori yang menarik yang dapat digolongkan dalam teori ini, yaitu[11] :
a.      Teori subjektif-adaequaat atau subyektive Prognose oleh Van Kries
Disebut Teori subjektif-adaequaat karena dalam rangkaian faktor –faktor yang dapat dihubungkan dengan terjadinya delik, ada satu yang dianggap menjadi causa yaitu faktor yang sesuai atau seimbang (adaequaat) dengan terjadinya akibat yang bersangkutan. Artinya, sebelumnya telah dapat diketahui oleh pembuat. Oleh karena itu, teori ini disebut juga teori subyektive Prognose, karena perbuatan yang diambil menjadi causa tersebut dapat diramalkan dengan kemungkinan yang besar menimbulkan delik.
b.      Teori Obyektif-nachttraglicher Prognose oleh Rumelin
Teori ini mengambil satu faktor dari rangkaian faktor – faktor yang dapat dihubungkan dengan terjadinya delik untuk menjadi causa, yaitu ditinjau dari sudut obyektif adalah faktor yang harus/perlu ada untuk terjadinya delik itu. Teori ini berbeda dari teori sebelumnya, karena teori ini tidak mempertimbangan sipembuat sebelumnya telah dapat mengetahui atau tidak akan terjadinya delik. Jadi, teori ini hanya menekankan bahwa faktor yang setelah terselesainya delik, “umum diterima” sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya delik tersebut.











                                                                                                   II.            MELAWAN HUKUM (WEDERECHTELIJK)

Pengertian melawan hukum dapat diartikan bermacam – macam, antara lain:
-          Tanpa hak sendiri (Zonder eigen recht)
-          Bertentangan dengan hak orang lain (tegen een anders recht)
-          Bertentangan dengan hukum obyektif (tegen het obyektieve recht)[12]
-          Tanpa alasan yang wajar
-          Bertentangan dengan hukum positif
Istilah “melawan hukum” dalam peraturan perundang – undangan, :
a)                  tidak berhak
b)                  tanpa izin
c)                  dengan melampaui kekuasaan
d)                 menyalahgunakan kewenangan
Menurut Pompe, jika diinterpretasikan secara teologis istilah lain “melawan hukum”, adalah :
a)      Tanpa tujuan yang wajar (302 KUHP)
b)      Tindakan asusila (290 KUHP)
c)      Melanggar kesusilaan (282 KUHP)[13]
Dalam peraturan perundang – undangan hukum pidana, sifat melawan hukum tidak selalu dicantumkan sebagai suatu delik. Hal ini mengakibatkan timbulnya persoalan, apakah sifat melawan hukum harus selalu dianggap sebagai salah satu unsur delik walaupun tidak dirumuskan secara tegas, atau baru dianggap suatu unsur delik jika dirumuskan dengan tegas dalam delik[14]. Jika ditelusuri dari sejarah perumusan unsur melawan hukum dalam delik, karena ada kekhawatiran jika sifat melawan hukum tidak disebut, maka seseorang yang benar – benar menjalankan hak/kewajiban dapat dianggap telah melakukan suatu delik tertentu[15]. Contohnya : seorang penyidik yang sedang menangani sebuah kasus dan membutuhkan barang bukti, maka barang bukti tersebut disita dari pemiliknya.
Akibat persoalan tersebut, para ahli hukum mempunyai pandangan – pandangan yang berbeda, sehingga pembahasan tentang “melawan hukum” mengalami perdebatan yang sangat panjang. Secara umum, “melawan hukum” dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1.      “Melawan hukum” formil
Para ahli hukum yang menganut ajaran ini salah satunya Simons menganggap bahwa “melawan hukum adalah melanggar ketentuan undang – undang[16] atau lebih luas lagi peraturan perundang – undangan.
2.      “Melawan hukum” materiil
Bahwa “melawan hukum” adalah melanggar kepatutan yang terdapat dalam masyarakat, penganut aliran ini antara lain : Zevenbergen, Van Hamel, Vos, Jonkers, Moeljatno, Roeslan Saleh[17]. Melawan hukum materiil dapat dibagi 2 (dua), yaitu :
ü  Berfungsi Negatif
Perbuatan yg menurut UU dilarang, tapi masyarakat menganggapnya tindak melanggar hukum pidana (bukan tindak pidana). Cth : seorang ayah yang memukul anaknya karena nakal.
ü  Berfungsi Positif
Perbuatan yg menurut UU tidak dilarang tapi masyarakat menganggapnya sebagai suatu tindak pidana. Namun hal ini bertentangan dgn asas legalitas. Cth : seorang laki – laki dan perempuan dewasa yang sama – sama belum menikah melakukan hubungan suami istri di hotel.
Perbandingan antara ajaran melawan hukum formil dan ajaran melawan hukum materiil

Formil
Materiil
“melawan hukum” sebagai unsur delik.
Hanya dianggap sebagai unsur jika dirumuskan secara tegas dalam delik.
Dirumuskan atau tidak dalam suatu delik, “melawan hukum” merupakan unsur dalam setiap delik.
Apabila “melawan hukum” tidak dirumuskan dalam suatu delik.
Tidak perlu dibuktikan tentang sifat melawan hukumnya, karena dengan melanggar UU maka telah “melawan hukum’’.
Walaupun tidak dirumuskan, sifat “melawan hukum” dianggap ada dalam setiap delik. Sehingga harus dibuktikan.
Apabila “melawan hukum” dirumuskan dalam dalam suatu delik.
Maka harus dibuktikan bahwa perbuatan tersebut “melawan hukum”.
Maka harus dibuktikan bahwa perbuatan tersebut “melawan hukum”.
Pengecualian terhadap sifat “melawan hukum’
Hanya yang dikecualikan dalam UU. Cth : Pasal 49 KUHP
Dikecualikan berdasarkan hukum tertulis dan tidak tertulis.

Alasan – alasan penganut melawan hukum formil
Simons adalah salah satu penganut pandangan ini, maka untuk membenarkan pendiriannya ini dia berpendapat[18] :
1.       Dari adagium “setiap orang dianggap mengetahui undang – undang”, maka tidak perlu dicari apakah tindakan seseorang itu sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat atau tidak.
2.      Jika diterapkan sifat melawan hukum materiil, maka setiap orang akan membela diri dengan mengatakan bahwa ia tidak mengetahui perbuatan itu dilarang dan diancam pidana oleh UU. Berarti hakim harus membuktikan sifat terlarang perbuatan itu. Dengan tugas tersebut, ada kemungkinan hakim akan melepaskannya dan keberlakukan KHUP diperlunak.
3.      Hakim bukanlah pencipta UU untuk menentukan suatu tindakan terlarang atau tidak, melainkan tugas dari pembentuk UU.
4.      Dengan penerapan sifat melawan hukum materiil, maka para hakim akan mengadakan tafsiran sendiri yang tidak terlepas dari pengaruh subyektivitasnya, dan akan banyak penafsiran yang berbeda – beda yang mengakibatkan ketidak pastian hukum.

Alasan – alasan penganut melawan hukum materiil
1.      Bahwa delik itu tidak mempersoalkan tindakan – tindakan yang terlarang saja, namun mempersoalkan apakah seseorang dapat dipersalahkan karena melakukann tindakan yang dilarang. Dapat dipersalahkan jika tidak mengindarahi melakukan perbuatan yang dilarang dan yang melawan hukum[19].
2.      Vos berpendapat, bahwa hukum pidana ditunjukan kepada perbuatan yang luar biasa. Oleh sebab itu, harus ada patokan/ukurannya, yaitu apakah setiap orang dalam keadaan yang sama melakukan perbuatan yang sama pula[20].
3.      Bahwa Hakim juga merupakan sumber hukum. Dalam praktek, setiap putusan yang berisi pendapat – pendapat hakim dapat diikuti oleh para hakim lainya. Hakim juga wajib mengikuti perkembangan kesadaran hukum masyarakat dan tidak boleh menolak untuk memberi putusan terhadap suatu perkara dengan alasan tidak terang hukumnya[21].
4.      Bahwa unsur Pasal 302 KUHP “tanpa tujuan yang patut” mengarahkan kepada pengertian kepatutam dalam masyrakat.


[1] Andi Hamza, Asas – Asas Hukum Pidana, ed. Revisi 2008, cet. 3, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 166.
[2] P.A.F. Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, cet. 3 (Bandung : Citra Aditya Bakti : 1997), hlm. 236.
[3] Andi Hamza, Op. Cit., hlm. 167.
[4] Ibid., hlm. 167
[5] E Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm. 389
[6] Andi Hamza, Op. Cit., hlm. 169
[7] Ibid., hlm. 169.
[8] E Utrecht, Op. Cit., hlm. 384
[9] Andi Hamza, Op. Cit., hlm. 170.
[10] E Utrecht, Op. Cit., hlm. 385.
[11] Ibid., hlm. 386.
[12] Andi Hamza, Op. Cit., hlm. 131-132.
[13] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, cet. 3, (Jakarta : Storia Grafika, 2002), hlm. 146.
[14] Ibid., hlm. 144.
[15] Ibid., hlm. 147.
[16] Ibid., hlm. 144.
[17] Ibid., hlm. 145-146.
[18] Ibid., hlm. 149 -150.
[19]Ibid., hlm. 150.
[20] Ibid., hlm. 150.
[21]Ibid., hlm. 151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar