I.
AJARAN
SEBAB-AKIBAT (KAUSALITAS/CAUSALITEITSLEER)
Setiap
peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa sosial yang lain,
demikian seterusnya; yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu
linggaran sebab akibat. Hal ini disebut hubungan kausal yang artinya adalah sebab
akibat atau kausalitas[1]. P.A.F
Lamintang mendifinisakan causaliteitsleer
atau ajaran mengenai sebab akibat adalah ajaran yang mempersalahkan hingga
berapa jauh suatu tindakan dapat dipandang sebagai penyebab dari suatu keadaan
atau hingga berapa jauh suatu keadaan itu dapat dipandang sebagai suatu akibat
suatu tindakan, dan sampai dimana seseorang yang telah melakukan tindakan
tersebut dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana[2].
Ajaran kausalitas
diperlukan pada jenis delik tertentu, yaitu :
• Delik Materiil[3]
: Delik yang dalam perumusannya mementingkan unsur akibat , mis. Ps. 338, Ps
359, Ps 360
• Delik yang terkualifikasi/dikwalifisir[4]
: tindak pidana yang karena situasi dan kondisi khusus yang berkaitan dengan
pelaksanaan tindakan yang bersangkutan atau karena akibat-akibat khusus yang
dimunculkannya, diancam dengan sanksi pidana yang lebih berat ketimbang sanksi
yang diancamkan pada delik pokok tersebut. mis. Ps 351 (1) à
Ps 351 (2)/ à
Ps 351 (3)
• Delik Omisi tak murni/semu[5]
(delicta commissiva per omissionem/ Oneigenlijke Omissiedelicten): Pelaku
melanggar larangan (timbulnya akibat) dengan pasif (tidak berbuat), Pasal. 194
Dalam ajaran kausalitas
dikenal beberapa teori yang dikemukan oleh beberapa ahli hukum dalam menentukan
sejauh mana suatu tindakan menjadi suatu sebab atas tejadinya akibat yang dapat
dipidana, antara lain :
1.
Teori Conditio sine quanon oleh Von Buri
Teori
Conditio sine quanon yaitu semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu
akibat dan yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht)
dari rangkaian factor-faktor yang bersangkutan harus dianggap sebab (causa) akibat itu[6].
Von Buri dalam teori ini juga menyatakan
bahwa tiap faktor dapat dihilangkan (weggedacht)
dari rangkaian faktor – faktor yaitu faktor yang tidak perlu/berhubungan dengan
akibat yang bersangkutan dan tidak diberi nilai. Begitu juga sebaliknya, tiap
faktor tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor –
faktor yaitu faktor yang perlu/berhubungan dengan akibat yang bersangkutan dan
diberi nilai sama atau sederajat, hal ini yang menyebabkan teori ini dikenal
juga dengan teori ekivelensi (aequoivalentie-leer)[7].
Van Hattum, Simons dan Jonkers berpendapat bahwa teori ini sama sekali tidak
dapat dipakai. Von Buri sendiri pernah mengakui bahwa teorinya tidak dapat
dipakai dalam hukum pidana.[8]
2.
Teori
Restriksi (Pembatasan) oleh Van Hamel
Van Hamel berpendapat bahwa teori Von
Buri pada prinsipnya dapat diterima, namun harus diimbangi dengan restriksi
(pembatasan). Pembatasan yang dimaksud oleh Van Hamel dengan melihat unsur
kesalahan dan kealpaan (opzet en
schuldleer)[9].
3.
Teori
yang mengindividualiskan (Individualiserende
Theorien)
Salah satu yang mengemukan teori ini
adalah Birkmeyer. Teori Birkmeyer juga didasari oleh teori Von Buri. Namun,
teori ini mengambil satu causa yang dianggap paling berpengaruh atas terjadinya
akibat yang bersangkutan[10].
Teori ini juga banyak menuai kritikan yang pada intinya adalah bagaimana
menentukan faktor yang paling berpengaruh atas terjadinya akibat dari rangkaian
faktor – faktor yang ada. Karena dalam penentuan itu bersifat subyektif (setiap
orang punya penilaian sendiri). Selain Birkmeyer, ahli hukum lain juga
mempunyai yang pendapat tentang teori ini antara lain Binding (teori Uebergwicht) dan Ortmann (teori “letze bedingung”).
4.
Teori
yang menggeneralisasi (Generaliserende
Theorien)
Dalam teori ini, causa yang diambil
adalah faktor yang menurut pengalaman atau yang pada umumnya menjadi causa.
Utrecht melihat ada 2 (dua) teori yang menarik yang dapat digolongkan dalam
teori ini, yaitu[11]
:
a. Teori subjektif-adaequaat atau subyektive
Prognose oleh Van Kries
Disebut Teori subjektif-adaequaat karena dalam rangkaian faktor –faktor yang
dapat dihubungkan dengan terjadinya delik, ada satu yang dianggap menjadi causa
yaitu faktor yang sesuai atau seimbang (adaequaat)
dengan terjadinya akibat yang bersangkutan. Artinya, sebelumnya telah dapat
diketahui oleh pembuat. Oleh karena itu, teori ini disebut juga teori subyektive Prognose, karena perbuatan
yang diambil menjadi causa tersebut dapat diramalkan dengan kemungkinan yang
besar menimbulkan delik.
b.
Teori
Obyektif-nachttraglicher Prognose
oleh Rumelin
Teori ini mengambil satu faktor dari
rangkaian faktor – faktor yang dapat dihubungkan dengan terjadinya delik untuk
menjadi causa, yaitu ditinjau dari sudut obyektif adalah faktor yang
harus/perlu ada untuk terjadinya delik itu. Teori ini berbeda dari teori
sebelumnya, karena teori ini tidak mempertimbangan sipembuat sebelumnya telah
dapat mengetahui atau tidak akan terjadinya delik. Jadi, teori ini hanya
menekankan bahwa faktor yang setelah terselesainya delik, “umum diterima”
sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya delik tersebut.
II.
MELAWAN
HUKUM (WEDERECHTELIJK)
Pengertian melawan
hukum dapat diartikan bermacam – macam, antara lain:
-
Tanpa hak sendiri (Zonder eigen recht)
-
Bertentangan dengan hak orang lain (tegen een anders recht)
-
Bertentangan dengan hukum obyektif (tegen het obyektieve recht)[12]
-
Tanpa alasan yang wajar
-
Bertentangan dengan hukum positif
Istilah “melawan hukum”
dalam peraturan perundang – undangan, :
a)
tidak berhak
b)
tanpa izin
c)
dengan melampaui kekuasaan
d)
menyalahgunakan kewenangan
Menurut Pompe, jika
diinterpretasikan secara teologis istilah lain “melawan hukum”, adalah :
a)
Tanpa tujuan yang wajar (302 KUHP)
b)
Tindakan asusila (290 KUHP)
c)
Melanggar kesusilaan (282 KUHP)[13]
Dalam peraturan
perundang – undangan hukum pidana, sifat melawan hukum tidak selalu dicantumkan
sebagai suatu delik. Hal ini mengakibatkan timbulnya persoalan, apakah sifat
melawan hukum harus selalu dianggap sebagai salah satu unsur delik walaupun
tidak dirumuskan secara tegas, atau baru dianggap suatu unsur delik jika
dirumuskan dengan tegas dalam delik[14].
Jika ditelusuri dari sejarah perumusan unsur melawan hukum dalam delik, karena
ada kekhawatiran jika sifat melawan hukum tidak disebut, maka seseorang yang
benar – benar menjalankan hak/kewajiban dapat dianggap telah melakukan suatu
delik tertentu[15].
Contohnya : seorang penyidik yang sedang menangani sebuah kasus dan membutuhkan
barang bukti, maka barang bukti tersebut disita dari pemiliknya.
Akibat persoalan
tersebut, para ahli hukum mempunyai pandangan – pandangan yang berbeda,
sehingga pembahasan tentang “melawan hukum” mengalami perdebatan yang sangat
panjang. Secara umum, “melawan hukum” dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. “Melawan hukum” formil
Para
ahli hukum yang menganut ajaran ini salah satunya Simons menganggap bahwa “melawan
hukum adalah melanggar ketentuan undang – undang[16]
atau lebih luas lagi peraturan perundang – undangan.
2. “Melawan hukum” materiil
Bahwa
“melawan hukum” adalah melanggar kepatutan yang terdapat dalam masyarakat,
penganut aliran ini antara lain : Zevenbergen, Van Hamel, Vos, Jonkers,
Moeljatno, Roeslan Saleh[17]. Melawan
hukum materiil dapat dibagi 2 (dua), yaitu :
ü Berfungsi Negatif
Perbuatan yg menurut UU dilarang, tapi
masyarakat menganggapnya tindak melanggar hukum pidana (bukan tindak pidana).
Cth : seorang ayah yang memukul anaknya karena nakal.
ü Berfungsi Positif
Perbuatan yg menurut UU tidak dilarang tapi
masyarakat menganggapnya sebagai suatu tindak pidana. Namun hal ini
bertentangan dgn asas legalitas. Cth : seorang laki – laki dan perempuan dewasa
yang sama – sama belum menikah melakukan hubungan suami istri di hotel.
Perbandingan
antara ajaran melawan hukum formil dan ajaran melawan hukum materiil
|
Formil
|
Materiil
|
“melawan
hukum” sebagai unsur delik.
|
Hanya
dianggap sebagai unsur jika dirumuskan secara tegas dalam delik.
|
Dirumuskan
atau tidak dalam suatu delik, “melawan hukum” merupakan unsur dalam setiap
delik.
|
Apabila
“melawan hukum” tidak dirumuskan dalam suatu delik.
|
Tidak
perlu dibuktikan tentang sifat melawan hukumnya, karena dengan melanggar UU
maka telah “melawan hukum’’.
|
Walaupun
tidak dirumuskan, sifat “melawan hukum” dianggap ada dalam setiap delik.
Sehingga harus dibuktikan.
|
Apabila
“melawan hukum” dirumuskan dalam dalam suatu delik.
|
Maka
harus dibuktikan bahwa perbuatan tersebut “melawan hukum”.
|
Maka
harus dibuktikan bahwa perbuatan tersebut “melawan hukum”.
|
Pengecualian
terhadap sifat “melawan hukum’
|
Hanya
yang dikecualikan dalam UU. Cth : Pasal 49 KUHP
|
Dikecualikan
berdasarkan hukum tertulis dan tidak tertulis.
|
Alasan
– alasan penganut melawan hukum formil
Simons adalah salah
satu penganut pandangan ini, maka untuk membenarkan pendiriannya ini dia
berpendapat[18]
:
1.
Dari
adagium “setiap orang dianggap mengetahui undang – undang”, maka tidak perlu
dicari apakah tindakan seseorang itu sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat
atau tidak.
2.
Jika diterapkan sifat melawan hukum
materiil, maka setiap orang akan membela diri dengan mengatakan bahwa ia tidak
mengetahui perbuatan itu dilarang dan diancam pidana oleh UU. Berarti hakim
harus membuktikan sifat terlarang perbuatan itu. Dengan tugas tersebut, ada
kemungkinan hakim akan melepaskannya dan keberlakukan KHUP diperlunak.
3.
Hakim bukanlah pencipta UU untuk menentukan
suatu tindakan terlarang atau tidak, melainkan tugas dari pembentuk UU.
4.
Dengan penerapan sifat melawan hukum
materiil, maka para hakim akan mengadakan tafsiran sendiri yang tidak terlepas
dari pengaruh subyektivitasnya, dan akan banyak penafsiran yang berbeda – beda
yang mengakibatkan ketidak pastian hukum.
Alasan
– alasan penganut melawan hukum materiil
1.
Bahwa delik itu tidak mempersoalkan
tindakan – tindakan yang terlarang saja, namun mempersoalkan apakah seseorang
dapat dipersalahkan karena melakukann tindakan yang dilarang. Dapat
dipersalahkan jika tidak mengindarahi melakukan perbuatan yang dilarang dan
yang melawan hukum[19].
2.
Vos berpendapat, bahwa hukum pidana
ditunjukan kepada perbuatan yang luar biasa. Oleh sebab itu, harus ada
patokan/ukurannya, yaitu apakah setiap orang dalam keadaan yang sama melakukan
perbuatan yang sama pula[20].
3.
Bahwa Hakim juga merupakan sumber hukum.
Dalam praktek, setiap putusan yang berisi pendapat – pendapat hakim dapat
diikuti oleh para hakim lainya. Hakim juga wajib mengikuti perkembangan
kesadaran hukum masyarakat dan tidak boleh menolak untuk memberi putusan
terhadap suatu perkara dengan alasan tidak terang hukumnya[21].
4.
Bahwa unsur Pasal 302 KUHP “tanpa tujuan
yang patut” mengarahkan kepada pengertian kepatutam dalam masyrakat.
[1] Andi Hamza, Asas – Asas Hukum Pidana, ed. Revisi
2008, cet. 3, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 166.
[2] P.A.F.
Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana
Indonesia, cet. 3 (Bandung : Citra Aditya Bakti : 1997), hlm. 236.
[3] Andi Hamza, Op. Cit., hlm. 167.
[4] Ibid., hlm. 167
[5] E Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya : Pustaka
Tinta Mas, 1986), hlm. 389
[6] Andi Hamza, Op. Cit., hlm. 169
[7] Ibid., hlm. 169.
[8] E Utrecht, Op. Cit., hlm. 384
[9] Andi Hamza, Op. Cit., hlm. 170.
[10] E Utrecht, Op. Cit., hlm. 385.
[11] Ibid., hlm. 386.
[12] Andi Hamza, Op. Cit., hlm. 131-132.
[13] E.Y. Kanter dan
S.R. Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana
di Indonesia dan Penerapannya, cet. 3, (Jakarta : Storia Grafika, 2002),
hlm. 146.
[14] Ibid., hlm. 144.
[15] Ibid., hlm. 147.
[16] Ibid., hlm. 144.
[17] Ibid., hlm. 145-146.
[18] Ibid., hlm. 149 -150.
[20] Ibid., hlm. 150.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar