Teori Retributif atau Teori Absolut
Pemidanaan
Teori
retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan
merupakan “morally Justifed”
(pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk
menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum
sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan
pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang
dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari
tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku[1]. Teori
Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan
yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang
amoral dan asusila didalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus
dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan
apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan[2].
Menurut
Kant dan Hegel, ciri khas dari teori absolut adalah keyakinan mutlak akan
keniscayaan pidana, sekalipun pemidanaan sebenarnya tidak berguna, bahkan
bilapun membuat keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih buruk. Kejahatan adalah
peristiwa yang berdiri sendiri; ada kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan;
dengan cara ini persoalan dituntaskan. Kesalahan (dosa) hanya dapat ditebus
dengan menjalani penderitaan. Jadi pandangannya diarahkan ke masa lalu (backward looking), bukan ke masa depan[3].
Karel
O. Christiansen mengidentifikasi lima ciri pokok teori absolut, yakni :
a) tujuan
pidana hanyalah sebagai balasan (The purpose of punishment is just
retribution);
b) Pembalasan
adalah tujuan utama dan didalamnya tidak meangandung sarana-sarana untuk tujuan
lain seperti kesejahteraan masyarakat (Just retribution is the ultimate aim, and
not in itself a means to any ather aim, as for instance social welfare which
from this point of view is without any significance whatsoever);
c) kesalahan
moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan (Moral guilt is the only
qualification for punishment);
d) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si
pelaku (The penalty shall be proportional
to the moral guilt of the offender);
e) Pidana
melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan untuk memperbaiki,
mendidik dan meresosialisasi pelaku (Punishment point into the past, it is pure
reproach, and it purpose is not to improve, correct, educate or resocialize the
offender).[4]
Menurut
Remmelink[5], teori
retributif atau teori absolut dapat dikatakan sama tuanya dengan awal pemikiran
tentang pidana. Syarat pembenaran penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan
itu sendiri. Pemikiran ini beranjak dari pandangan yang absolut terhadap
pidana. Dalam konteks ajaran ini, pidana merupakan res absoluta ab affectu futuro
(suatu
keniscayaan yang terlepas dari dampaknya di masa depan). Dilakukannya kejahatan,
maka membawa konsekuensi dijatuhkannya pemidanaan, quia peccatum (karena
telah dilakukan dosa).
Menurut
Andrew Ashworth[6],
teori retributif mempunyai sejarah yang panjang. Teori retributif ini muncul
kembali dalam era modern pada tahun 1970-an, yang didorong oleh kegagalan secara
luas pelaksanaan ide rehabilitasi. Pemidanaan dibenarkan sebagai suatu respon
yang pantas atau cocok untuk kejahatan, suatu tuntutan yang fundamental dari
intuisi manusia dan pemidanaan ini harus proporsional dengan tingkat kesalahan.
Dalam hal ini, adanya justifikasi dari institusi pemidanaan juga unsur yang
harus ada sebagai konsekuensi untuk penanggulangan kejahatan. Institusi pemidanaan
ini sangat penting sekali karena tanpanya akan memungkinkan terjadinya anarki.
Tindakan pembalasan setimpal ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap
individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil
keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa setiap
individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku
kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas penghukuman tersebut,
dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak proporsional terhadap
kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakam kunci dari konsep teori
pembalasan setimpal. Ukuran yang utama dari proporsionalitas ini adalah semua
ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak boleh melewati batas secara
kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan.
Menurut Nigel Walker para penganut teori retributif
ini dapat pula dibagi dalam beberapa golongan, yaitu[7]
:
1. Penganut teori retributif yang murni (The pure
retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan
dengan kesalahan si pembuat.
2. Penganut teori retributif tidak murni (dengan
modifikasi) yang dapat pula dibagi dalam :
a) Penganut teori retributif yang terbatas (the
limiting retributivist) yang berpendapat : pidana tidak harus cocok/sepadan
dengan kesalahan; hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan
dengan kesalahan terdakwa.
b) penganut teori retributif yang distributif (retribution
in distribution), disingkat dengan sebutan teori “distributive” yang
berpendapat : pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi
pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip
“tiada pidana tanpa kesalahan” di hormati, tetapi dimungkinkan adanya
pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”.
Lebih lanjut Nigel Walker dalam “Sentencing in A
Rational Society” menegaskan bahwa asumsi lain yang dibangun atas dasar
retributif adalah beratnya sanksi harus berhubungan dengan besarnya kerugian
yang ditimbulkan oleh pelanggar. Asumsi ini dimasukkan dalam undang-undang yang
memberi sanksi-sanksi pidana maksimum yang lebih kecil untuk usaha-usaha yang
tidak berhasil daripada usaha-usaha yang berhasil[8].
Penjatuhan pidana terhadap pelaku
kejahatan dalam teori retributif mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut[9]:
a) Dijatuhkannya
pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi
dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan
tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran
retributive ini disebut vindicative;
b) Penjatuhan
pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota
masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau
memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima
ganjarannya. Tipe aliran ini disebut fairness;
c) Pidana
dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya kehajatan
yang dilakukan dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran ini disebut proportionality.
John Kaplan dalam bukunya Chriminal justice membagi teori
retributif menjadi dua:
a)
The Revenge Theory (teori pembalasan).
b)
The Expiation Theory (teori penebusan dosa).
Pembalasan
mengandung arti, bahwa hutang si penjahat “telah dibayarkan kembali” (the criminal is paid back), sedangkan
penebusan dosa mengandung arti bahwa si penjahat “membayar kembali hutangnya” (the criminal pays back). Jadi pengertian
tidak jauh berbeda. Menurut John Kaplan tergantung dari cara orang berpikir
pada saat menjatuhkan suatu sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu karena kita
“menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan “ia berhutang sesuatu
kepada kita”.
Demikian
pula Johannes Andenaes menegaskan bahwa “penebusan” tidak sama dengan
“pembalasan dendam” (revenge). Pembalasan berusaha memuaskan hasrat balas
dendam dari sebagian para korban atau orang-orang lain yang simpati kepadanya,
sedangkan penebusan dosa, lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan[10].
[1]Aleksandar
Fatic, Punishment and Restorative Crime –
Handling. (USA: Avebury Ashagate Publishing Limited, 1995), hlm. 9.
[2]
Van Bemmelen, Hukum Pidana 1, Cetakan
Kedua, (Bandung: Bina Cipta,1997), hlm. 25.
[3]Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal
Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 600.
[4]
M.
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalama Hukum
Pidana : Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta:
Rajawali, 2004), hal. 35.
[5]
Remmelink, loc. Cit.
[6]
Andrew Ashworth (1994). Sentencing,
dalam The Oxford Handbook of Criminology.
Mike Maguire et.all (Ed.). New York: Oxford University Press, hlm. 819
[7]
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori
Dan Kebijakan Pidana¸ (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 12-13.
[8]
Nigel Walker, Sentencing in a Rational Society, (New
York: Basic Books, Inc., Publisher, 1971), hlm. 8.
[9]
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum
Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hlm. 83-84.
[10]
Muladi dan
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar