Laman

Jumat, 10 Oktober 2014

Teori Retributif atau Teori Absolut Pemidanaan

Teori Retributif atau Teori Absolut Pemidanaan

Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku[1]. Teori Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila didalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan[2].
Menurut Kant dan Hegel, ciri khas dari teori absolut adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana, sekalipun pemidanaan sebenarnya tidak berguna, bahkan bilapun membuat keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih buruk. Kejahatan adalah peristiwa yang berdiri sendiri; ada kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan; dengan cara ini persoalan dituntaskan. Kesalahan (dosa) hanya dapat ditebus dengan menjalani penderitaan. Jadi pandangannya diarahkan ke masa lalu (backward looking), bukan ke masa depan[3].
Karel O. Christiansen mengidentifikasi lima ciri pokok teori absolut, yakni :
a)      tujuan pidana hanyalah sebagai balasan (The purpose of punishment is just retribution);
b)      Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak meangandung sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat (Just retribution is the ultimate aim, and not in itself a means to any ather aim, as for instance social welfare which from this point of view is without any significance whatsoever);
c)      kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan (Moral guilt is the only qualification for punishment);
d)      Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku (The penalty shall be proportional to the moral guilt of the offender);
e)      Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi pelaku (Punishment point into the past, it is pure reproach, and it purpose is not to improve, correct, educate or resocialize the offender).[4]
Menurut Remmelink[5], teori retributif atau teori absolut dapat dikatakan sama tuanya dengan awal pemikiran tentang pidana. Syarat pembenaran penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri. Pemikiran ini beranjak dari pandangan yang absolut terhadap pidana. Dalam konteks ajaran ini, pidana merupakan res absoluta ab affectu futuro (suatu keniscayaan yang terlepas dari dampaknya di masa depan). Dilakukannya kejahatan, maka membawa konsekuensi dijatuhkannya pemidanaan, quia peccatum (karena telah dilakukan dosa).  
Menurut Andrew Ashworth[6], teori retributif mempunyai sejarah yang panjang. Teori retributif ini muncul kembali dalam era modern pada tahun 1970-an, yang didorong oleh kegagalan secara luas pelaksanaan ide rehabilitasi. Pemidanaan dibenarkan sebagai suatu respon yang pantas atau cocok untuk kejahatan, suatu tuntutan yang fundamental dari intuisi manusia dan pemidanaan ini harus proporsional dengan tingkat kesalahan. Dalam hal ini, adanya justifikasi dari institusi pemidanaan juga unsur yang harus ada sebagai konsekuensi untuk penanggulangan kejahatan. Institusi pemidanaan ini sangat penting sekali karena tanpanya akan memungkinkan terjadinya anarki. Tindakan pembalasan setimpal ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakam kunci dari konsep teori pembalasan setimpal. Ukuran yang utama dari proporsionalitas ini adalah semua ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan.
Menurut Nigel Walker para penganut teori retributif ini dapat pula dibagi dalam beberapa golongan, yaitu[7] :
1.      Penganut teori retributif yang murni (The pure retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat.
2.      Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi dalam :
a)      Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang berpendapat : pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa.
b)      penganut teori retributif yang distributif (retribution in distribution), disingkat dengan sebutan teori “distributive” yang berpendapat : pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan” di hormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”.
Lebih lanjut Nigel Walker dalam “Sentencing in A Rational Society” menegaskan bahwa asumsi lain yang dibangun atas dasar retributif adalah beratnya sanksi harus berhubungan dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar. Asumsi ini dimasukkan dalam undang-undang yang memberi sanksi-sanksi pidana maksimum yang lebih kecil untuk usaha-usaha yang tidak berhasil daripada usaha-usaha yang berhasil[8].
            Penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan dalam teori retributif mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut[9]:
a)      Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributive ini disebut vindicative;
b)      Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran ini disebut fairness;
c)      Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya kehajatan yang dilakukan dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran ini disebut proportionality.
John Kaplan dalam bukunya Chriminal justice membagi teori retributif menjadi dua:
a)      The Revenge Theory (teori pembalasan).
b)      The Expiation Theory (teori penebusan dosa).
Pembalasan mengandung arti, bahwa hutang si penjahat “telah dibayarkan kembali” (the criminal is paid back), sedangkan penebusan dosa mengandung arti bahwa si penjahat “membayar kembali hutangnya” (the criminal pays back). Jadi pengertian tidak jauh berbeda. Menurut John Kaplan tergantung dari cara orang berpikir pada saat menjatuhkan suatu sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu karena kita “menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan “ia berhutang sesuatu kepada kita”.
Demikian pula Johannes Andenaes menegaskan bahwa “penebusan” tidak sama dengan “pembalasan dendam” (revenge). Pembalasan berusaha memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian para korban atau orang-orang lain yang simpati kepadanya, sedangkan penebusan dosa, lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan[10].


[1]Aleksandar Fatic, Punishment and Restorative Crime – Handling. (USA: Avebury Ashagate Publishing Limited, 1995), hlm. 9.
[2] Van Bemmelen, Hukum Pidana 1, Cetakan Kedua, (Bandung: Bina Cipta,1997), hlm. 25.
[3]Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 600.
[4] M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalama Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Rajawali, 2004), hal. 35.
[5] Remmelink, loc. Cit.
[6] Andrew Ashworth (1994). Sentencing, dalam The Oxford Handbook of Criminology. Mike Maguire et.all (Ed.). New York: Oxford University Press, hlm. 819
[7] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana¸ (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 12-13.
[8] Nigel Walker, Sentencing in a Rational Society, (New York: Basic Books, Inc., Publisher, 1971), hlm. 8.
[9] Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hlm. 83-84.
[10] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar