Laman

Senin, 22 Oktober 2012

Sistem Ketatanegaraan Pasca Reformasi


SISTEM KETATANEGARAAN
PASCA REFORMASI
Oleh : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.


SUMBER HUKUM TERTINGGI

Pancasila dan UUD 1945 merupakan Dokumen Pemersatu. Sebagai warga masyarakat kita berbeda-beda, tetapi sebagai warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang harus tercermin dalam segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan kenegaraan, dan harus ditegakkan sebagaimana mestinya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.
Sekilas Sejarah Konstitusi Indonesia
UUD 1945
Konstitusi RIS 1949
UUDS NKRI 1950
UUD 1945 Dekrit 5 Juli 1959, Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) = Rule of Man
Orde Baru (Demokrasi Pancasila) = Rule of Man
Perubahan UUD 1945
Perubahan substanial dan penyempurnaan 300%
Dari Supremasi Institusi ke Supremasi Konstitusi, Rule of the Law & Constitution
Dari Sistem Pembagian Kekuasaan ke Checks and Balances
Penguatan Sistem Presidentil
Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Kebhinekaan
Penguatan Peradilan dan Pelembagaan Peradilan Konstitusi

PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN

Pembuatan Kebijakan (Policy Making)
Pelaksanaan Kebijakan (Policy Executing)
Peradilan atas Pembuatan Kebijakan (Judicial Review)
a. Peradilan atas Konstitutionalitas UU di MK
b. Peradilan atas Legalitas Peraturan di bawah UU di MA.
Peradilan atas Pelaksanaan Kebijakan (Peradilan):
a. Peradilan Umum:
- Peradilan Pidana
- Peradilan Perdata
c. Peradilan Agama
d. Peradilan Tata Usaha Negara
e. Peradilan Militer

BENTUK NORMA HUKUM PENUANGAN KEBIJAKAN

Pengaturan (regelingen, regulations)
a. UUD 1945
b. UU/PERPU/TAP-MPR/S
UU disusun dan ditetapkan oleh DPR dg persetujuan bersama Presiden (dapat menjadi objek judicial review oleh MK atau legislative review oleh DPR)
Perpu disusun dan ditetapkan oleh Presiden  dengan meminta persetujuan DPR belakang, yaitu pada masa persidangan berikutnya (hanya dapat menjadi objek legislative review, dan tidak dapat dijadikan objek judicial review).
TAP-MPR/S tersisa dan masih berlaku setara dengan UU sehingga dapat diubah dengan UU melalui legislative review, sedangkan melalui judicial review masih dapat diperdebatkan).
Peraturan Pelaksana UU yang bersifat structural-hirarkis yang keberadaannya didasarkan atas prinsip delegasi atau sub-delegasi (legislative delegation of rule-making power), seperti: 
PP
Perpres
Perda Provinsi
Perda Kabupaten/Kota
Peraturan Pelaksana UU yang bersifat fungsional-nonhrarkis yang keberadaannya didasarkan atas prinsip delegasi atau sub-delegasi (legislative delegation of rule-making power), seperti: 
PERMA
PMK
Peraturan KPU
PBI
Peraturan KPU 
Perdasus dan Qanun
Peraturan Menteri tertentu
Peraturan Direktur Jenderal tertentu.
Penetapan (beschikkings, administrative decisions)
a. Keputusan Presiden
b. Keputusan Menteri
c. Keputusan Direktur Jenderal
d. Keputusan Kepala LPND
e. Dan lain sebagainya.
Putusan Pengadilan (vonnis)
a. Putusan Pra-Peradilan
b. Putusan Pengadilan Tingkat Satu
c. Putusan Pengadilan Tingkat Dua
d. Putusan Pengadilan Tingkat Tiga
e. Putusan Peninjauan Kembali (PK).
Aturan Kebijakan (Beleidsregels, Policy Rules)
a. Instruksi Presiden (Inpres)
b. Petunjuk Pelaksanaan (Juklak)
c. Petunjuk Teknis (Juknis)
d. Buku Pedoman
e. Manual
f. Kerangka Acuan
g. Dan lain sebagainya.
Rule of Ethics:
a. Code of Ethics dan Code of Conduct
b. Institusi Penegak Kode Etik & Perilaku, seperti:
- Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan,
- Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum,
- Badan Kehormatan DPR, dan Badan Kehormatan DPD,
- Majelis Kehormatan Mahkamah Agung,
- Majelis Kehormatan Peradi, dsb.

KELEMBAGAAN DAN HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA

Bagan Organisasi Utama (lihat buku Risalah MPR-MK) 
Cabang Kekuasaan Eksekutif
Presiden dan Wakil Presiden (satu kesatuan institusi, single executive)
Wakil Presiden (i) membantu, (ii) mendampingi, (iii) mewakili untuk sementara, (iv) mewakili secara tetap, dan (v) kegiatan mandiri.
Menteri Kabinet
prinsip pembagian pekerjaan secara habis
Puncak kepemimpinan adminisi pemerintsahan di bawah Presiden dan Wapres. 
Semua lembaga independen dan cabang-cabang kekuasaan yang bersifat campuran serta lembaga-lembaga pemerintahan non-departemen harus dikoordinasikan oleh menteri yang berfungsi sebagai tameng dan payung politik dalam berhubungan dengan Presiden, DPR/DPD, dan lembaga peradilan.
Cabang Kekuasaan Legislatif (Legislature)
Dari supremasi institusi (MPR) ke supremasi konstitusi.
Pergeseran kekuasaan legislative dari Presiden ke DPR
Problem perpu sebagai kewenangan legislasi oleh Presiden
Konsep legislasi dalam arti luas: trikameralisme, satu institusi dengan tiga forum (kamar):
MPR (lembaga membuat undang-undang dasar)
DPR (lembaga penyalur aspirasi rakyat dalam rangka penyusunan kebijakan dan program serta pengawasan pelaksanaannya)
DPD (mitra DPR dalam rangka penyaluran aspirasi konstituen dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan)
Problem penggabungan pimpinan dan secretariat bersama
DPRD sebagai lembaga legislative atau bukan. 
Pimpinan dan anggota DPRD pejabat Negara atau bukan
Cabang Kekuasaan Kehakiman (Judiciary)
Hakikat pengadilan sebagai cabang kekuasaan yang tersendiri dalam rangka tegaknya rule of law sebagai pengimbang demokrasi yang engagungkan kebebasan untuk kesejahteraan. 
MK (the guardian of the constitution)
MA (the guardian of the state’s law)
BPK (state’s auditor) (bercorak semi-judikatif dalam menunjang fungsi legislative)
Lembaga-Lembaga Independen
KY
KPU
Tentara Nasional Indonesia
Kepolisian
Kejaksaan
Bank Sentral
KPK
Komisi-Komisi yang diatur UU (Komnasham, Komisi Ombudsman, Komisi Penyiaran Indonesa, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan lain-lain sebagainya). Sekarang berjumlah tidak kurang dari 50 buah. Usul kepada anggota DPR untuk menghentikan kreatifitas membuat lembaga2 baru.
Hubungan antara Eksekutif dan Legislatif
Penyusunan kebijakan dalam bentuk undang-undang
Penyusunan anggaran
Pengawasan/kontrol politik atas pelaksanaan kebijakan:
Dalam bentuk peraturan-peraturan pelaksanaan (executive acts).
Dalam bentuk tindakan-tindakan pelaksanaan (executive actions).
Pengawasan/kontrol politik atas pelaksanaan anggaran.
MK dan Hubungan antara Lembaga
Pengawal konstitusi
Pengawal demokrasi
‘arbitrase’ konstitusional
Pelindung hak konstitusional warga Negara
Penafsir akhir atas UUD (Final interpreter of the constitution)
Independensi Peradilan dan Penegakan Hukum
Kekuasaan kehakinan: independensi structural dan fungsional
Pejabat dan lembaga penegak hukum:
Hakim (pengadilan)
Penuntut (kejaksaan dan KPK)
Penyidik (Polisi dan PPNS)
Pembela (Advokat)
Lembaga Pemasyarakatan (LP)

TATA-KELOLA YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)

Indonesia sebagai Negara Pengurus (Welfare State)
Sepuluh Prinsip Good Governance
a. Tegaknya rule of law
b. Efisiensi dan Efektifitas
c. Terbukanya Partisipasi Masyarakat
d. Transparansi
e. Akuntabilitas
f. Responsive
g. Kesetaraan (Equality)
h. Beorientasi ke depan
i. Berjalannya fungsi pengawasan
j. Profesionalisme
k. Efisiensi dan Effektifitas.
Tertib administrasi keuangan sebagai pangkal tolak
Penerapan Teknilogi Informasi secara bersengaja
Efisiensi dan pemangkasan jadwal pelayanan

REKOMENDASI

Perlunya bagi setiap pejabat public selalu menjadikan UUD 1945 sebagai pegangan dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab masing-masing. Bila perlu UUD 1945 selalu ada di saku atau di tas kerja masing-masing.
UUD 1945 pasca Perubahan ke-IV, masih banyak kekurangan dan kelemahan, tetapi sebelum ketentuan dimaksud disempurnakan, apa yang ada sekarang tulah yang berlaku dan diberlakukan dalam praktik.
UU yang terkait kepentingan politik praktis parpol diprioritaskan:
UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD
UU Pemilu, UU Pilpres dan UU Pemda yang memuat ketentuan pemilukada supaya diintegrasikan dan dilengkapi dalam satu UU, misalnya, menjadi UU tentang Pemilihan Pejabat Publik.
Sesuai dengan tuntutan zaman, semua Lembaga Negara perlu mengadakan evaluasi untuk memperbaiki governance masing-masing dengan pelayanan yang semakin efektif dan efisien dan dengan memanfaatkan jasa teknologi modern.


PERAN NEGARA DALAM MENGANTISIPASI AMUK MASSA


Peran negara salah satunya adalah memberi keamanan kepada warga negaranya, memberikan kehidupan yang damai dilingkungan masyarakatnya. Lalu mengapa masih ada warga negara yang tidak merasa aman dan banyak amuk massa dimana – mana?. Di sini akan dibahas kegagalan negara dalam menjamin keamanan warga negara.
Menurut Saifur Rohman ilmu positif memberikan analisis empiris. Pada kenyataannya, ada dimensi non-empiris yang turut menopang terjadinya kekerasan itu. Berdasarkan refleksi filsafat sosial, amuk massa itu terjadi karena tiga faktor, yakni kesalahan pemahaman tentang konflik, kehendak melukai yang lain, dan tindakan kekerasan.
Pada tingkat pemahaman konflik, sistem sosial beserta komponen-komponen pendukungnya memiliki pemahaman yang keliru tentang pemecahan konflik dalam medan sosial.
Bagi kita, sekarang konflik adalah penghancuran. Sistem sosial mewadahi gagasan ini. Contoh, organisasi massa yang mengatasnamakan agama beroperasi dengan cara anarki di tengah-tengah masyarakat. Ketika pemerintah tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku dan kelompok tempat berlindung, pemerintah dapat dianggap turut serta di dalam kekerasan itu.
Pemerintah lalai melindungi warga negara dari kekerasan sistemis di tengah-tengah masyarakat. Contoh lain, atribut-atribut militer yang dijadikan simbol-simbol perilaku sosial memberikan ilustrasi tentang pentingnya kekuatan fisik untuk menyelesaikan konflik. Praktik-praktik politik yang korup, produk-produk putusan hukum yang timpang, serta orientasi pada jabatan dan kekayaan adalah bagian dari penghapusan nilai-nilai spiritual. Manusia terbelenggu dalam dimensi fisik.
Refleksi teoretis dan faktual itu memberikan rekomendasi tentang pentingnya memahami kekerasan itu sebagai fenomena luaran. Ada dimensi spiritual hilang dari proyek pembangunan manusia Indonesia. Hilangnya dimensi itu menjadi dasar mengeksekusi niat untuk melukai fisik orang lain dari waktu ke waktu.
Warisan primitif manusia mengungkap kenyataan bahwa kita sesungguhnya menyukai kekerasan. Itulah kenapa kekerasan yang terjadi berurutan itu berada dalam satu alur: berawal dari bentrok individual menuju amuk massa. Pemerintah kehilangan daya membangun manusia Indonesia yang mampu memahami resolusi konflik melalui komunikasi, empati, dan permaafan.
Dengan demikian kita tidak bisa menyalakan negara khususnya dalam hal ini adalah Pemerintah. Karena di negara kita ini begitu banyak suku dan kebudayaan yang beragam dan kebudayaan – kebudayaan kita kebanyakan masih premitif dan masih berpikir untuk menyelesaikan sesuatu harus dengan kekerasan. Pemerintah dalam hal ini harus bisa menjadi pemersatu bangsa agar tidak ada lagi perbedaan antara warga negara di Indonesia. Meneurut saya adalah dengan pendidikan, karena pendidikan dapat menjadi pemersatu bangsa. Oleh karna itu, Pemerintah harus melakukan pembangunan daerah tertinggal dan membangun sekolah – sekolah di daerah tersebut maka nantinya mereka bisa belajar secara intelektual dalam menyelesaikan masalah bukan dengan cara kekerasan.

Karakteristik Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah




Tidak dapat dipungkiri, bahwa premanisme telah menjadi fenomena sosial yang sangat mengkhawatirkan. Kemunculannya sering dianggap sebagai ketidakberdayaan pemerintah melindungi warga negaranya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka peranan keluarga sangatlah penting dalam kehidupan seseorang. Namun, tidak semua keluarga bisa menampung dan mengurus anggotanya secara baik. Sebuah keluarga haruslah menjadi keluarga yang islami, yang memiliki karakteristik keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah.

Menurut terminologi bahasa Arab, Sakinah artinya tenang, terhormat, aman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Mawaddah artinya jenis cinta membara, yang menggebu-gebu kasih sayang pada lawan jenisnya (bisa dikatakan mawaddah ini adalah cinta yang didorong oleh kekuatan nafsu seseorang pada lawan jenisnya). Wa Rahmah artinya dan ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, rejeki. Jadi, keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah itu artinya keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya, penuh rezeki dan dirahmati oleh Allah SWT. 
Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada empat (idza aradallohu bi ahli baitin khoiran dst); 
(a) memiliki kecenderungan kepada agama,
(b) yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda,
(c) sederhana dalam belanja, 
(d) santun dalam bergaul dan 
(e) selalu introspeksi. 
Dalam hadis Nabi juga disebutkan bahwa: “ empat hal akan menjadi faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga (arba`un min sa`adat al mar’i), yakni :
(a) suami / isteri yang setia (saleh/salehah), 
(b) anak-anak yang berbakti, 
(c) lingkungan sosial yang sehat , dan 
(d) dekat rizkinya.”
Dalam hadis tersebut kita bisa mengetahui bahwa anak-anak yang berbakti lahir dari sebuah keluarga yang baik, keluarga yang sakinah dan warahmah. Anak-anak yang berbakti kelak akan menjadi dewasa. Mereka yang dewasa inilah yang akan menjadi orang-orang dalam lingkungan masyarakat. 
Kalau dihubungkan dengan premanisme, yang dewasa ini semakin menjadi pandemi di kalangan masyarakat, maka terdapatlah fakta bahwasanya masih banyak keluarga yang belum memenuhi karakteristik sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.

Demikianlah penjelasan mengenai karakteristik keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah. Dapat disimpulkan bahwa, keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, dapat menjadi penentu karakter seseorang di masyarakat. Pandemi premanisme di Indonesia juga akan berkurang apabila keluarga-keluarga yang ada di Indonesia mengerti bagaimana caranya untuk menjadi keluarga sakinah dan warrahmah.

INDIVIDU



A. Pengertian Individu
Individu berasal dari kata yunani yaitu “individium” yang artinya “tidak terbagi”.Dalam ilmu sosial paham individu, menyangkut tabiat dengan kehidupan dan jiwa yangmajemuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia. Menurut Anwar, individu merupakan kesatuan yang terbatas yaitu sebagai manusia perseorangan bukan sebagai manusia keseluruhan. Maka dapat disimpulkan bahwa individu adalah manusia yang memiliki peranan khas atau spesifik dalam kepribadiannya. Dan terdapat tiga aspek dalam individu yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial. Dimana aspek – aspek tersebut saling berhubungan. Apabila salah satu rusak maka akan merusak aspek lainnya. Individu dalam tingkah laku menurut pola pribadinya ada tiga kemungkinan: pertama menyimpang dari norma kolektif individualitasnya, kedua takluk terhadap kolektif, dan ketiga mempengaruhi masyarakat. (Hartono, 2004: 64). Dengan demikian manusia merupakan makhluk individual tidak hanya dalam arti keseluruhan jiwa-raga, tetapi merupakan pribadi khas, menurut corak kepribadiannya dan kecakapannya. Individu mempunyai ciri – ciri memiliki pikiran dan diri. Dimana individu sanggup menetapkan kenyataan, interprestasi situasi, menetapkan aksi dari luar dan dalam dirinya. Dapat diartikan sebagai proses komunikasi individu dalam berinteraksi dan berhubungan. Individu tidak akan jelas identitasnya tanpa adanya suatu masyarakat yang menjadi latar belakang individu tersebut.
Dari pembahasan di atas kita tahu arti sesunguhnya individu. Individu atau manusia tidak dapat hidup sendiri dan tidak ada gunanya apabila hidup sendiri karena manusia butuh indentitas yang jelas. Oleh karena itu, manusia disebut makhluk sosial. Walaupun individu sangat pintar dan kuat tidaklah memungkinkan individu tersebut dapat hidup sendiri. Jadi, kesimpulannya adalah individu yang baik adalah individu yang bisa hidup di dalam masyarakat dengan mematuhi norma – norma yang ada di dalam masyarakat tersebut.
B. Membentuk Individu Yang Baik
Membentuk individu yang baik tidak terlepas dari pembentukan kepribadian dan karakter yang kuat seperti pada buku MPKT ajar 1. Jadi, membentuk individu yang baik dapat dilakukan dengan cara mengetahui bakat dan kemampuan yang dimiliki. Kemudian bakat dan kemampuan tersebut dapat dilatih dengan baik sehinggah menjadi individu yang berkemampuan sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki.
C. Hubungan Individu Dengan Individu 
Hubungan individu dengan individu lain adalah bagian dari yang membentuk masyarakat. Disini hubungan yang dimaksud adalah bagaimana hubungan individu perseorangan dengan individu perseorangan lainnya. Dapat dimisalkan hubungan antara suami dan istri, ayah dengan anaknya, dsb. 
D. Individu Dalam Masyarakat
Individu adalah bagian terkecil dari bagian masyarakat. Masyarakat adalah sekumpulan individu yang hidup dalam wilayah bersama dan terorganisasi secara sistemik serta saling membutuhkan. Pentingnya masyarakat bagi individu adalah karena masyarakat mempengaruhi individu dalam membentuk perilakunya melalui sebuah proses yang disebut sosialisasi. Pentingnya individu bagi masyarakat adalah karena kumpulan – kumpulan individulah yang membentuk masyakat dan karakter individu yang menentukan corak masyarakat serta sifat – sifat individu – individu tersebut yang mempresentasikan corak masyarakat tersebut. Jadi dari kedua pernyataan tersebut sesungguhnya individu dan masyarakat sama pentingnya.
E. Individu Dan Kebudayaan
Sebagai mahluk budaya, individu adalah makhluk yang mempunyai pikiran dan akal budi. Dengan demikian individu mempunyai tingkatan lebih tinggi karena dapat menggunakan akalnya untuk memperhitungkan tindakannya yang didapat dengan cara terus menerus. 
Dengan akal manusia dapat mengembangkan kebudayaan, baik kebudayan material maupun kebudayaan nonmaterial. Kebudayaan material adalah semua ciptaan yang dapat diamati dengan pancaindera, dihasilakan oleh individu dan masyarakat dalam bentuk nyata/konkret. Contohnya televisi, senjata, rumah, dsb. Sedangkan kebudayaan nonmaterial dalam bentuk gagasan/idea, dongeng, lukisan, legenda rakyat, dan lagu atau tarian tradisional yang diwariskan dari generasi kegenerasi. 
F. Perbedaan Individu
Setiap manusia adalah unik. Tidak ada orang yang benar – benar sama walaupun sepasang kembar sekalipun. Perbedaan – perbedaan membawa pada keanekaragaman cara dalam memandang sesuatu, dalam bertindak dalam situasi tertentu, dalam menentukan sasaran, dalam menilai, dsb.

Apa Yang Dimaksud Keamanan Nasional?



Keamanan Nasional (National Security) merujuk pada kebutuhan untuk memelihara dan mempertahankan eksistensi negara melalui kekuatan ekonomi, militer dan politik serta pengembangan diplomasi. Secara konvensional, tafsir konsep Keamanan Nasional menekankan kepada kemampuan pemerintah dalam melindungi integritas teritorial negara dari ancaman yang datang dari luar dan dari dalam negara tersebut. Beberapa langkah yang penting untuk memastikan keamanan
nasional :
  • Penggunaan diplomasi untuk menggalang sekutu dan mengisolasi ancaman
  • Penataan Angkatan Bersenjata yang efektif
  • ImplementasI  konsep pertahanan yang bersifat sipil dan kesiagaan dalam menghadapi situasi darurat, termasuk terorisme.
  • Memastikan daya dukung dan ketersediaan infrastruktur dalam negeri yang penting
  • Penggunaan kekuatan intelijen untuk mendeteksi dan mengalahkan atau menghindari berbagai ancaman dan spionase, serta melindungi informasi rahasia
  • Penggunaan kekuatan kontra­intelijen untuk melindungi negara

Setelah berakhirnya era Perang Dingin, perkembangan ilmu hubungan internasional melahirkan pandangan baru konsep keamanan yang tidak hanya meliputi aspek militer dan pelibatan aktor keamanan semata­mata. Menurut para pakar Konsep keamanan nonkonvensional ini  memiliki definisi yang lebih fleksibel dan meliputi aspek non-militer dan melibatkan aktor­aktor non­insititusi pemerintah.

Mengapa Konsep
Keamanan Nasional Penting?
Sejak jatuhnya Uni Sovyet dan berakhirnya Perang Dingin serta munculnya isu-isu keamanan kontemporer seperti terorisme, maka konsep-konsep keamanan nasional klasik dengan serta merta bergeser secara dramatik. Reformasi sektor keamanan dan manajemen sektor keamanan menjadi kebutuhan banyak negara dengan alasan dan landasan beragam. Beberapa negara bangkit dari rezim yang represif dan melaksanakan pembangunan paska konflik internal dan perang sipil. Sementara beberapa negara lain yang merupakan negara berkembang memiliki pemerintahan yang belum memberikan perhatian yang memadai terhadap keamanan nasionalnya.

Langkah-langkah untuk mengadopsi konsep dan menata keamanan nasional dalam menghadapi ancaman-ancaman di masyarakat terus menerus didiskusikan terutama di negara-negara demokratis. Topik diskusi itu terpusat pada skala dan peran dari otoritas negara dalam kaitannya dengan hak-hak sipil dan Hak Asasi Manusia (HAM). Ketegangan muncul antara peran penjagaan negara (yang membatasi isu-isu sensitif seperti hak untuk menentukan nasib sendiri dan mengedepankan konsep kedaulatan) dan hak serta kekebebasan individu.

Konsep keamanan nasional menjadi penting untuk diperhatikan karena ia tidak bisa dilepaskan dari prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance), aturan hukum (Rule of Law) dan pengawasan yang seimbang (check and balances). Penekanan ini penting mengingat bahwa kepentingan  keamanan nasional bisa memunculkan ekses politik dan sosial yang tidak diharapkan publik.Karenanya untuk tindakan-tindakan tertentu terkait kepentingan keamanan nasional seperti pengawasan terhadap kehidupan publik dan sensor media mensyaratkan satu keputusan politik yang bisa diterima publik secara konstitusional.

Sebagai contoh, di Amerika Serikat, kontroversi tentang USA Patriot Act (Undang-undang Keamanan Nasional Amerika yang diterbitkan terkait ancaman terorisme di Amerika) telah memunculkan dua pertanyaan publik; atas nama kemananan nasional apakah hak-hak dan kebebasan individu dapat dibatasi, dan apakah pembatasan hak-hak dan kebebasan-kebebasan individu atas nama keamanan nasional dapat dibenarkan.

Apakah Kemanan Nasional Hanya
Berhubungan Dengan Militer?
Tidak. Militer hanya salah satu dari aspek penting dalam konsep keamanan nasional. Keamanan nasional juga ditentukan oleh aktor dan aspek lain seperti politik, ekonomi, sosial dan lingkungan. Kelima aspek baik yang berkaitan dengan militer maupun non­militer, memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya dan dapat diperinci  pada tataran  peran  di tingkat individu, nasional, regional dan internasional.

Perserikatan Bangsa­Bangsa (PBB) menekankan perubahan konsep dan fokus keamanan dari keamanan yang menitikbeatkan kepada keamanan negara menjadi keamanan masyarakat, dari keamanan melalui kekuatan militer menuju keamanan melalui pembangunan masyarakat, dari keamanan wilayah kepada keamanan manusia terkait jaminan keamanan, pangan, pekerjaan dan lingkungan.

Karenanya, keamanan nasional merupakan perwujudan konsep keamanan secara menyeluruh, yang memiliki empat dimensi:
(1) dimensi pertahanannegara,
(2) dimensi stabilitas dalam negeri,
(3) dimensi ketertiban publik, dan
(4) dimensi keamanan insani.

Secara teoritik empat dimensi keamanan ini, mendefinisikan keamanan nasional sebagai upaya politik pemerintah yang bertujuan untuk menciptakan kondisi aman bagi terselenggaranya pemerintahan dan kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga mampu meraih kepentingan nasional dari segala bentuk gangguan dan ancaman baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

Apa Perbedaan Antara
Konsep Keamanan Nasional dan
Keamanan Insani (Human Security)?
Sebagian analis keamanan memandang bahwa konsep keamanan nasional sudah usang dan tidak lagi bermanfaat bagi masyarakat internasional sejak munculnya sejumlah ancaman keamanan global saat ini (seperti terorisme dan pemanasan global) yang tidak mungkin dijawab dengan pendekatan yang militeristik.

Untuk merespon ini, sejumlah akademisi, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan pengambil kebijakan telah merekomendasikan perlunya mengadopsi satu konsep yang berpusat pada keamanan manusia atau Keamanan Insani (Human Security). Konsep ini menekankan bahwa keamanan global akan dapat ditingkatkan dengan baik ketika setiap pemimpin negara menfokuskan kebijakannya pada pengurangan kerawanan yang mengancam setiap individu merupakan jalan terbaik untuk meningkatkan keamanan nasional.

Badan PBB untuk Program Pembangunan, UNDP (United Nations Development Programme’s), dalam laporannya pada tahun 1994 mengemukakan konsep human security dimengerti sebagai bebas dari ketakutan (freedom from fear) dan bebas dari kebutuhan (freedom from want). Konsep ini meliputi;
1) Keamanan Ekonomi (economic security),
2)Keamanan Pangan (foodsecurity),
3)Keamanan Kesehatan (health security),
4) Keamanan Lingkungan (enviromental Security),
5) Keamanan Individu (personal security),
6) Keamanan Komunitas (community security), dan
7) Keamanan Politik (political security).

UNDP meringkas human security sebagai :
(1) keamanan dari ancaman krusial ; seperti kelaparan, penyakit dan represi,
(2) perlindungan dari gangguan yang menyakitkan dan/tiba-tiba dalam kehidupan sehari-hari,     baik di lingkungan rumah tangga, pekerjaan atau komunitas.

Keamanan Nasional Indonesia
Dalam Lampiran poin 4, Peraturan Presiden (Perp­pres) No. 7 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, Keamanan Nasional Indonesia dirumuskan sebagai suatu rasa aman dan damai dari bangsa Indonesia dalam Wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Cakupan konsep keamanan nasional Indonesia  meliputi segala daya dan upaya untuk menjaga dan memelihara rasa aman dan damai bangsa Indonesia terdiri dari pertahanan negara, keamanan negara, keamanan publik dan keamanan individu. Kepentingan nasional Indonesia  terdiri dari 3 (tiga) strata:
  • Mutlak, kelangsungan NKRI, berupa integritas teritorial, kedaulatan nasional, dan keselamatan bangsa Indonesia.

  • Penting, berupa demokrasi politik dan ekonomi, keserasian hubungan antar suku, agama, ras, dan golongan (SARA), penghormatan terhadap HAM, dan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.
  • Pendukung; Keterlibatan Indonesia dalam mendukung dan mewujudkan perdamaian dunia dan ketertiban dunia.

Sementara dalam draft Rancangan Undang­undang Keamanan Nasional versi kelompok kerja (pokja) Departemen Pertahanan Januari 2007, disebutkan bahwa Keamanan Nasional Indonesia adalah:

1.fungsi pemerintahan yang diselenggarakan untuk menjamin tegaknya kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI, terjaminnya keamanan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara, perikehidupan rakyat, masyarakat dan pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dan

2. Kondisi keamanan yang berlaku dalam ruang lingkup sebagian atau seluruh wilayah NKRI. Secara konstitusional, Keamanan Nasional ditujukan untuk mencapai Tujuan Nasional sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa; “…negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.” Untuk mencapai tujuan nasional di sektor keamanan, dikembangkan sistem keamanan nasional. Sayangnya, menurut para analis, sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) yang masih dipakai sebagai satu­satunya sistem keamanan dan doktrin pertahanan bersifat statis dan permanen. Padahal Sishankamrata harus dinamis dan dapat memberikan ruang lingkup bagi negara untuk mengembangkan strategi, kebijakan dan kemampuan pertahanan negara yang memadai. Pendekatan keamanan nasional tidak terfokus pada pendekatan keamanan negara, karena negara sebagai aktor keamanan tidak hanya memperhatikan issue keamanan tradisional yang mengancam kedaulatan politik dan teritorial, tapi juga isu keamanan yang bersifat non­konvensional yang mengancam kehidupan warga negara.

Bagaimana Pengaturan
Penyelenggaraan Keamanan Nasional?
Di Indonesia, munculnya usulan RUU Keamanan Nasional tidak lepas dari adanya kelemahan yang masih timbul dari berbagai perangkat perundang­undangan yang lahir pasca pemisahan TNI­Polri. Baik UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri, UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, maupun UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI, ternyata memunculkan masalah yang berupa tidak adanya ruang bagi koordinasi dan sinergi operasional di lapangan.

Kebutuhan legislasi dalam kebijakan keamanan ini diperlukan untuk mengatur dan penyelenggaraan keamanan nasional secara demokratis, komprehensif  dan terkoordinasi. Kebijakan itu juga menjadi landasan hukum untuk mengatur keterlibatan berbagai institusi, batas kewenangan antar institusi yang terlibat dan sumber daya yang digunakan.

Gagasan keamanan nasional sebelumnya telah dituangkan dalam RUU Pertahanan dan Keamanan Negara. Dalam RUU ini Kelompok Kerja Reformasi Sektor Keamanan mengemukakan Pertimbanagn Strategi Politik dan Legal dalam penyusunan kebijakan keamanan.
Tiga Pertimbangan Kebutuhan UU
Pertahanan dan Keamanan Negara


Pertimbangan Strategi;
berkaitan dengan pemahaman dan praktek yang menempatkan Pertahanan dan keamanan negara sebagai suatu konsep yang merangkum berbagai subjek, dimensi ancaman, serta sumber daya; tidak semata-mata berdimensi tunggal yang berpusat kepada negara. Konsekuensinya, pemahaman atas konsep pertahanan dan keamanan negara perlu diperluas untuk menjangkau bukan hanya keamanan sebuah negara sebagai entitas politik yang sah berdaulat tetapi juga keamanan insani (humansecurity).

Pertimbangan Politik;
dari sisi politik, perumusan perundangundangan Pertahanan dan Keamanan Negara merupakan kebutuhan yang mendesak untuk mengatur kembali peran dan posisi institusi yang bertanggungjawab untuk mewujudkan pertahanan dan keamanan negara. Dalam sistem demokrasi, pertahanan dan keamanan negara tidak lagi semata-mata menjadi wilayah kekuasaan negara secara eksklusif, tapi menjadi wilayah bersama yang melibatkan aktor yang lebih luas. Karenanya, perlu ada pengaturan tentang pertahanan dan keamanan negara yang mencerminkan kepentingan aktor yang lebih luas.

Pertimbangan Legal;
Undang-undang Pertahanan dan Keamanan Negara dibutuhkan untuk: 1) mengoperasionalkan ketentuan UUD 1945 Pasal 30, 2) mengisi sebagian kekosongan hukum di bidang keamanan nasional dan sekaligus menggantikan UU No 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, dan 3) Menutup ketidakkonsistenan Dan sekaligus menyelaraskan regulasi-regulasi yang menyangkut pertahanan dan keamanan.

Secara teoritik, pengaturan kelembagaan dan hubungan kelembagaan dalam keamanan nasional negara demokrasi meliputi:
  • Upaya mewujudkan keamanan nasional harus didasarkan kepada prinsip demokrasi. Prinsip ini mencakup supremasi sipil, transparansi dan akuntabilitas
  • Upaya mewujudkan keamanan nasional harus didasarkan kepada penghormatan kepada hak­hak sipil, dan
  • Penggunaan kekerasan merupakan pilihan terakhir. Prinsip ini mengharuskan adanya mekanisme untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh institusi­institusi pelaksana.

Meski proses reformasi dan demokratisasi telah berjalan selama kurun waktu 10 tahun, format dan pemahanan tentang keamanan nasional belum ditemukan. Kelemahannya antara lain disebabkan oleh adanya perdebatan mengenai penataan keamanan nasional yang tidak hanya berkisar pada persoalan teknis operasional mengenai Pengaturan, Pengelolaan dan Pengimplemnetasian, melainkan masih bertumpu pada paradigma dan konsep keamanan nasional itu sendiri. Penyelenggaraan keamanan nasional secara konseptual harus  didasarkanatas prinsip­prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance).

Prinsip-prinsip Good Governance Dalam
Penyelenggaraan Keamanan Nasional
  • Aktor keamanan haruslah akuntabel dan operasi mereka harus diawasi oleh otoritas sipil dan berbagai organisasi masyarakat sipil.
  • Operasi aktor keamanan harus sejalan dengan sistem hukum nasional dan internasional.
  • Ketersediaan semua informasi mengenai perencanaan, penganggaran dan operasi para aktor keamanan yang dapat diakses oleh publik secara luas serta pengadopsian sebuah pendekatan yang komprehensif dan disiplin atas semua sumber daya yang ada.
  • Badan legislatif dan eksekutif harus mempunyai kapasitas untuk melakukan kontrol politik terhadap berbagai kebijakan, penganggaran dan operasi para aktor di bidang keamanan. Sejalan dengan prinsip ini, masyarakat sipil juga harus mempunyai kapasitas untuk mengawasi dan berpartisipasi secara konstruktif kebijakan, penganggaran dan operasi aktor keamanan.
  • Hubungan sipil-militer harus didasarkan pada hierarki yang jelas dan penghormatan Terhadap Hak Asasi Manusia.
  • Kesetaraan individu harus dijamin di depan hukum maupun dalam proses hukum berdasar tata cara yang adil dan transparan.

Apa Tantangan Dalam Merumuskan Keamanan Nasional?
Penyelenggaraan keamanan nasional saat ini mengalami berbagai hambatan dan tantangan diantaranya terkait dengan perumusan legislasi, sebagaimana diuraikan dalam table di bawah ini.
Substansi
Identifikasi Masalah
Sistem
Keamanan Nasional
  • Tidak adanya rujukan utama untuk mendefinisikan keamanan nasional.
  • Tidak adanya rujukan utama untuk membedah anatomi sistem nasional.
  • Kerangka kerja yang ada, misalnya tentang ketahanan nasional dan wawasan nusantara, tidak lagi dipandang sebagai kerangka utama yang relevan untuk mengembangkan  sistem keamanan nasional.

Dimensi
KeamananNasional
  • Ragam interpretasi konsep pertahanan-keamanan.
  • Pemisahan konsep pertahanan dan keamanan yang tertera dalam TAP MPR serta UUD 1945 justru memperluas ragam interpretasi konseptual.
  • Peletakan konsep keamanan sebagai konsep multidimensi tidak disertai pemahaman bersama tentang sebaran dimensi keamanan nasional.
  • Muncul berbagai terminologi keamanan yang bersumber dari rujukan yang berbeda-beda, seperti keamanan negara, kemanan dalam negeri dan kamtibmas.
  • Tidak adanya paragdima yang konsisten untuk mengelaborasi dimensi keamanan nasional; perspekstif realisme tentang penguatan negara yang digabungkan dengan berbagai perspektif seperti human security sebagai kerangka untuk memetakan masalah keamanan nasional.

Aktor
KeamananNasional
  • Kesepakatan tentang tidak adanya aktor tunggal dalam sistem keamanan tidak adanya mekanisme baku di tingkat nasional yang mengatur diferensiasi serta spesifikasi fungsi antar aktor.
  • Belum ada rujukan tunggal tentang penetapan variasi jenis aktor keamanan nasional.
  • Keragaman alternatif untuk membentuk mekanisme koordinasi tunggal di tingkat nasional, yaitu:Menko Polhukam, Wanhankamnas, atau DKN.
  • Keragaman mekanisme koordinasi spesifik di masing-masing dimensi operasional kemanan nasional, seperti Dewan Pertahanan Negara, Komisi Kepolisian, BIN (sebagai koordinator komunitas intelijen, Komunitas intelijen Daerah (Depdagri), BNN, dan beragam “desk penanggulangan masalah” dikantor Menko Polhukam, Keterkaitan beragam mekanisme koordinasi ini dengan pembentukan sistem keamanan nasional yang belum jelas.

Kebijakan
KeamananNasional
  • Tidak Adanya hirarki kebijakan keamanan yang jelas.
  • Tidak adanya regulasi yang mengharuskan pemerintah menyusun pedoman kebijakan keamanan nasional yang dapat dipergunakan oleh instansi kemanan nasional untuk merumuskan strategi-strategi operasionalnya; presiden tidak mempunyai JAKUM KAMNAS.
  • Kebijakan-kebijakan Yang disusun bersifat sektoral dan parsial serhingga tidak muncul suatu kebijakan keamanan nasional yang integratif dan komprehensif.

Akuntabilitas
Politik-Operasional
  • TidakAdanya standar nasional tentang pemisahan akuntabilitas politik dan operasional institusi keamanan.
  • Ketiadaan pemisahan tersebut menyebabkan pejabat pemegang akuntabilitas operasional masih dilibatkan dalam proses-proses politik perumusan dan pengawasan kebijakan sektoral keamanan nasional.

Pelibatan
Aktor Keamanan
  • Adanya tumpang-tindih kewenangan antar aktor keamanan nasional yang disebabkan oleh ketidak-jelasan tanggung-jawab serta spesialisasi fungsi, kemunculan area abu-abu dan/atau pendelegasian kewenangan satu tugas kemanan nasional ke beragam aktor.
  • Tidak adanya mekanisme dan prosedur baku yang dapat dijadikan rujukan untuk mengerahkan Kekuatan kemanan nasional.
  • Legitimasi Politik untuk pengerahan kekuatan keamanan nasional rendah karena tidak rincinya peran DPR Dalam keputusan politik yang berkenaan dengan pengerahan.




Bagaimana Pengaturan
Keamanan Nasional di Negara Lain?
Sistem Pertahanan dan Keamanan di Turki
Reformasi sektor keamanan (RSK) di Turki dipicu oleh faktor eksternal dan faktor internal yang mengerucut pada satu muara, yaitu keseimbangan kedudukan sipil dan militer atau lebih tepatnya kontrol objektif  sipil atas militer.

Seiring dengan keinginan Turki bergabung dengan Uni Eropa, negara­negara Eropa mensyaratkan pembentukan sektor keamanan yang demokratis, akuntabel, transparan, terintegrasi dengan keamanan insani (human security) dan terawasi serta terkontrol secara objektif  oleh pemerintahan dan masyarakat sipil. Ketentuan ini menjadi persyaratan faktor eksternal yang mendorong RSK di Turki.

Secara internal, RSK di Turki dipacu oleh fenomena militer yang mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara seluruh rakyat Turki. Peran sebagai “pengawal bahkan pengontrol” bangsa dan negara (guardian role) dimainkan oleh tentara Turki selama bertahun­tahun karenanya masyarakat sipil Turki menuntut dihapuskannya sistem tersebut.

Atas dasar kedua faktor tersebut, maka RSK Turki diprioritaskan pada upaya (1) mengkondisikan kontrol sipil terhadap militer demi mencapai akuntabilitas militer, (2) meredefinisi konsep “ancaman” yang selama ini ditetapkan dan ditafsirkan secara sepihak oleh tentara, (4) memberdayakan kemampuan sipil di dalam isu strategi pertahanan dan keamanan agar dapat mengawasi aktor­aktor keamanan dengan baik, dan (5) mempromosikan bentuk kerjasama yang efektif  dan sehat antara sipil dan aktor­aktor keamanan demi mereduksi konflik di kemudian hari.

Dalam ketidakseimbang kedudukan sipil dan militer di Turki, RSK ditujukan  untuk menyeimbangkan kedua belah pihak baik secara langsung (direct approach) maupun tidak langsung (indirect approach).

Pendekatan tidak langsung ditujukan kepada penguatan masyarakat sipil, akademisi dan media massa agar dapat memberikan masukan dalam isu­isu pertahanan­keamanan dan dapat mengawasi sektor keamanan dengan efektif. Untuk mencapai tujuan itu, pemerintahan Turki mengamandemen konstitusinya secara komprehensif  pada Oktober 2001 dan mereformasi produk­produk hukumnya pada Februari 2002, Agustus 2002, Juni 2003 dan Mei 2004. Amandemen tersebut fokusnya pada pembelaan terhadap hak­hak asasi manusia dan kebebasan serta membawa Turki sesuai dengan persyaratan Uni Eropa.

Pendekatan langsung untuk mereformasi sistem keamanan Turki ditargetkan pada dua hal: Pertama, perubahan konsepsi dan formulasi kebijakan keamanan nasional ke arah yang lebih lebih adaptif  terhadap masukan dari pihak sipil. Kedua, menghilangkan “pengetahuan yang asimetris” antara sipil dan militer tentang keamanan, pertahanan dan strategi.

Target pertama dicapai pada 7 Agustus 2003 dengan disahkannya Paket Demokrasi Agustus 2003 (August 2003 Democratic Package). Paket tersebut mempunyai tiga sasaran: (1) mengharmonisasikan produk hukum Turki dengan persyaratan menjadi anggota Uni Eropa, (2) menghentikan pengaruh militer di ranah politik, dan (3) menguatkan legitimasi perspektif  sipil di sektor keamanan. Sedangkan target kedua diraih dengan mendemokratisasi “rahasia” di sekitar isu­isu pertahanan dan keamanan dan menciptakan kondisi yang kondusif  bagi pengetahuan khusus tentang institusi dan kebijakan sektor keamanan. Organisasi Masyarakat Sipil, seperti The Turkish Econonomic and Social Studies Foundation (TESEV) Berupaya keras mengejawantahkan target kedua tersebut dengan mengadakan penelitian, pengawasan dan aktivitas lainnya dengan tujuan penguatan kemampuan parlemen di bidang pertahanan dan keamanan.

Di samping memperhatikan kondisi ketidakseim­ bangan sipil­militer, Organisasi Masyarakat Turki pun mengamati relasi antara kondisi pertahanan keamanan kontemporer dan kebutuhan masyarakat. Mereka memandang bahwa dewasa ini mayoritas konflik terjadi dalam satu negara (intra), bukan antar negara (inter). Pada umumnya masyarakat umum lebih memperhatikan kondisi keamanan sehari­hari ketimbang keamanan negara dalam sekala besar. Oleh karena itu, RSK Turki pun lebih difokuskan pada penguatan kapasitas institusi penegak hukum non­militer, misalnya polisi.
Apa Peran Masyarakat Sipil Dalam
Mendorong Keamanan Nasional?
Seiring dengan perkembangan pemahaman konsep keamanan nasional, organisasi masyarakat sipil membentuk kelompok kerja (Pokja) untuk mendorong masuknya gagasan keamanan nasional dalam kerangka legislasi. Kelompok Kerja ini terdiri dari berbagai Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang mempunyai concern yang sama terhadap issue Keamanan Nasional. Pemahaman tersebut menyangkut tiga aspek : Pertama berkaitan dengan perkembangan pemahaman dan praktek yang menempatkan pertahanan dan keamanan negara sebagai konsep yang merangkum berbagai subyek, dimensi ancaman, sumber daya, dan tidak semata-mata  berdimensi  tunggal yang berpusat pada negara; Kedua,dipandang dari sudut politik, perumusan suatu UU merupakan kebutuhan mendesak untuk mengatur kembali peran dan posisi institusi-institusi yang bertanggungjawab mewujudkan pertahanan dan keamanan Negara; dan ketiga mempertimbangkan Kebutuhan kerangka legal yang jelas, yang mengatur kedua aspek di atas.

Kelompok Kerja yang difasilitasi oleh Propatria tersebut terdiri dari sejumlah akademisi dan kalangan intelektual dari berbagai universitas, Pusat Kajian dan LSM,  diantaranya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum indonesia (YLBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Imparsial, Indonesian Corruption Watch (ICW), dan Human Right Working Group
(HRWG). Mereka bersama-sama dukungan dan perhatian terhadap pengaturan ulang kerja-kerja aktor keamanan menjadi lebih terintegrasi di bawah satu payung hukum yang komprehensif dengan memberikan advokasi dan dorongan terhadap RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang masih banyak diperdebatkan.

RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang diajukan oleh pemerintah tampaknya banyak menuai kritik dari berbagai kalangan terutama kalangan OMS, karena pasal-pasal RUU Kamnas yang mengatur penetapan  status keadaan darurat, baik darurat sipil maupun militer, mengacu pada  UU Keadaan Bahaya lama.

Produk hukum ini dinilai mengesankan TNI sentris, karenanya OMS yang concern pada isu reformasi sektor keamanan tersebut, seperti YLBHI, Kontras, serta Elsam, bahkan mendesak pemerintah untuk melupakan dan tidak melanjutkan Ide penyusunan RUU Kamnas. Pemerintah Sebaliknya disarankan mengambil langkah lain yang lebih tepat yaitu mengurusi proses legislasi tiga RUU lain, yaitu RUU Peradilan Militer, UU Nomor 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya yang dinilai warisan rezim pemerintahan lalu, dan RUU Perbantuan TNI.

Kritik lain juga datang dari CSIS yang menilai bahwa pemerintah, khususnya Presiden SBY, Tidak mempunyai sikap yang jelas terhadap tujuan dan konsep disusunnya RUU Keamanan Nasional. Sedangkan Kelompok Kerja Reformasi Sektor Keamanan Propatria Institute berpendapat bahwa aturan kamnas tetap diperlukan sepanjang penekanannya pada penuntasan agenda reformasi keamanan dan penuntasankoordinasi antara TNI Dan Polri.


Sejauh ini berbagai upaya telah dilakukan oleh kalangan OMS untuk mendorong reformasi sistem keamanan nasional. Terkait draft RUU Kamnas yang dinilai hanya memenuhi kepentingan politik TNI saja dan kurang mengakomodir peran Polri, Propatria Institute sebagai leading institution dalam issue RUU Kamnas meminta agar perdebatan draft RUU Kamnas diarahkan kepada penciptaan sistem keamanan nasional (siskamnas) yang efektif dalam suatu sistem yang demokratis.

Proses advokasi yang telah dilakukan oleh Propatria Institute dan Kelompok Kerja Dalam proses reformasi RUU Kamnas diantaranya:
  • FGD, seminar, dan diskusi publik untuk memperkuat wacana RUU Kamnas;
  • Melakukan studi terkait isu-isu dan formulasi RUU Kamnas;
  • Melakukan loby dan membangun hubungan dengan pemerintah (Dephan);
  • Membangun jaringan dengan kelompok media dan kelompokOMS lain;
  • Melakukan konferensi pers sebagai upaya sosialisasi ke publik;
  • Menerbitkan buku-buku dan konsep RUU Kamnas alternatif untuk kebutuhan pemerintah dan publik.

Tampaknya proses advokasi dan kampanye RUU Kamnas ini agak tersendat karena adanya perbedaan pandangan antara kelompok yang pro kebutuhan normatif regulasi Kamnas dengan komunitas OMS yang merasa terancam dengan keberadaan rancangan legislasi tersebut. Akan tetapi peluang untuk terus mendorong advokasi RUU Kamnas tetap terbuka luas mengingat kuatnya dukungan berbagai kalangan, diantaranya anggota DPR, OMS, kalangan akademisi, bahkan dukungan dari Menhan Juwono Sudarsono dan Kapolri Jend (Pol.) Sutanto untuk membuat ulang naskah RUU Kamnas.

Beberapa rekomendasi masyarakat sipil terkait kebijakan keamanan nasional Antara lain:
  • Penyempurnaan redaksional Pasal 30 UUD 1945 sehingga tidak mengaburkan pengaturan sistem keamanan nasional (negara), sistem keamanan umum dan sistem penegakan hukum; tidak dijadikan satu di bawah Sishankamrata.
  • Perlunya rujukan yang jelas tentang definisi kemanan nasional. Pemisahan pertahanan dan keamanan dalam TAP MPR VI dan VII yang telah menyebabkan terjadi kekaburan pendefinisian fungsi dan tugas TNI dan Polri dalam mewujudkan keamanan nasional.
  • Adanya satu lembaga Kordinator alternatif untuk menyatukan berbagai bentuk mekanisme koordinasi sebagai wadah tunggal keamanan Nasional di tingkat nasional Melalui pembentukan Dewan Keamanan Nasional.
  • Memperkuat peran dan fungsi DPR dalam setiap keputusan politik dalam melibatkan dan mengerahkan lembaga keamanan danpertahanan.



Lain...
  • Secara makro, dengan perekonomian Negara yang tidak kunjung membaik menyebabkan lapangan kerja semakin sempit karena aktivitas perekonomian lambat bergerak. Akibatnya, angka pengangguran semakin tinggi. Secara mikro, banyaknya anggota masyarakat yang menganggur berpotensi meningkatnya angka kriminalitas, sementara biaya pemenuhan keperluan dan kebutuhan ekonomi sehari-hari semakin tinggi.
  • Ketidakmaksimalan perangkat institusi dan hukum seringkali menjadi faktor sulitnya menjaga dan mengendalikan Kamtibmas, apalagi jika antara aparat penegak hukum dengan masyarakat yang melanggar terjadi kolusi sehingga menyebabkan masyarakat semakin antipati terhadap aparat penegak hukum.
  • Masyarakat yang seharusnya melaporkan beragam masalah sosial yang terjadi di lingkungannya kepada aparat berwajib namun justru bersikap diam akan menyebabkan kondisi instabilitas tetap tumbuh dan berkembang tanpa bisa di atasi. Ironisnya, banyak anggota masyarakat yang justru terlibat dalam aktivitas menyimpang tersebut
  • Contoh, korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik, tokoh masyarakat turut serta dalam aktivitas kriminal, tokoh agama yang melindungi para pelaku kriminal karena pelaku kriminal secara periodik telah membantu aktivitas keagamaan, dan sebagainya